Kamis, 03 September 2015

Iman Kata iman makna aslinya keyakinan hati, sedang kata Islam makna aslinya tunduk, maka dari itu, Islam terutama sekali bertalian dengan perbuatan. Perbedaan makna asli ini diuraikan seterang-terangnya dalam Qur’an dan Hadits, walaupun dalam penggunaan sehari-hari, dua-duanya mengandung arti yang sama, dan kata mukmin dan muslim acapkali digunakan dalam Qur’an dan Hadits silih berganti. Contoh penggunaan kata iman dan islam dalam Qur’an Suci diuraikan dalam 49:14: “Para penduduk padang pasir berkata: Kami beriman (amanna dari kata iman); katakanlah: Kamu tidaklah beriman, tetapi katakanlah: kami tunduk (aslama dari kata islam); dan iman belum masuk ke dalam hati kamu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Utusan-Nya, Dia tak akan mengurangi amal kamu sedikit pun, karena Allah itu Yang Maha-pengampun, Yang Maha-pengasih” 5. Sudah tentu ini tidaklah beramanrti mereka tak beriman kepada Nabi Muhammad. Adapun yang dimaksud iman masuk ke dalam hati, ini dijelaskan dalam ayat berikutnya: “Adapun orang mukmin ialah orang yang beriman kepada Allah dan Utusan-Nya, lalu mereka tak ragu-ragu, dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka. Mereka itulah orang tulus” (49:15). Sebenarnya kata Iman dan Islam itu digunakan dalam arti dua tingkat perkembangan rohani manusia yang berlainan. Orang disebut beriman (amana) apabila ia mengikrarkan imannya kepada Allah Yang Maha-esa dan kepada Nabi Muhammad, yang ini sebenarnya adalah iman tingkat permulaan, karena dengan meng-ikrarkan iman itu, orang mulai bergerak; dan orang disebut telah beriman (amana) apabila ia mempraktekkan dengan sekuat tenaga iman yang ia ikrarkan. Contoh tentang dua macam iman ini telah kami berikan. Yang pertama tersebut dalam 2:62 dan 4:136, adapun contoh yang kedua tersebut dalam 49:15 yang baru saja kami kutip di atas. Adapun perbedaan antara dua macam iman itu ialah, iman pada tingkat permulaan hanyalah baru pengakuan di lisan saja, yakni mengucap-kan dua Kalimat Syahadat, sedang tingkat kedua, iman itu di-tingkatkan dan disempurnakan, dan ini berarti iman tingkat terakhir, yaitu iman yang telah masuk ke dalam kalbu dan menghasilkan perubahan penting dalam dirinya. Demikian pula dalam penggunaan kata islam. Dalam tingkat permulaan, Islam hanyalah berarti kesediaan orang untuk tunduk, sebagaimana diuraikan dalam 49:14; sedang dalam tingkat terakhir, Islam berarti berserah diri sepenuhnya, seperti diuraikan dalam 2:112 yang berbunyi: “Ya barangsiapa berserah diri (aslama) sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat baik (kepada orang lain), ia memperoleh ganjaran dari Tuhan mereka, dan tiada ketakutan akan menimpa mereka, dan mereka tak akan susah”. Jadi, baik iman maupun Islam, dua-duanya sama dalam tingkat permulaan dan tingkat terakhir, yakni, dari tingkat ikrar lalu berkembang ke tingkat penyempurnaan, yang sudah tentu melalui berbagai tingkat. Dua-duanya mempunyai titik permulaan dan tujuan akhir; orang yang berbeda pada titik permulaan atau atau orang baru, dan orang yang telah mencapai tujuan, walaupun terdapat perbedaan yang amat besar, namun dua-duanya disebut mukmin atau muslim, demikian pula orang yang berada di tengah perjalanan antara titik permulaan dan tujuan terakhir, juga disebut Mukmin atau Muslim. Dalam Islam tak ada dogma Uraian tersebut membawa kita kepada kesimpulan, bahwa dalam Islam tak ada dogma, yaitu ajaran yang dianggap dapat menyelamatkan manusia hanya dengan percaya saja. Menurut ajaran Islam, iman bukanlah suatu keyakinan semata akan benarnya ajaran yang diberikan, melainkan iman itu sebenarnya, menerima suatu ajaran sebagai landasan untuk melakukan perbuatan. Qur’an Suci dengan tegas memegang teguh pengertian ini, karena menurut Qur’an Suci, walaupun setan dan malaikat sama-sama adanya, namun beriman kepada malaikat acapkali disebut sebagai dari rukun iman, sedang terhadap setan, orang diharuskan mengafirinya. Qur’an berfirman: “Oleh karena itu, barangsiapa mengafiri setan dan beriman kepda Allah, ia sungguh-sungguh berpegang pada pegangan yang kuat” (2:256). Kata-kata yang digunakan di sini untuk mene-rangkan iman kepada Allah dan mengafiri setan ialah yu’minu dan yakfuru, atau iman dan kafir. Jika kata iman hanya berarti percaya kepada adanya sesuatu, dan kata kafir berarti tak percaya kepada adanya sesuatu, maka kata: mengafiri setan tidaklah diajarkan dengan kata-kata beriman kepada Allah. Allah ada; malaikat ada; setan juga ada; tetapi mengapa kita harus beriman kepada Allah dan malaikat-Nya, sedang kepada setan kita harus mengafirinya, ini disebabkan karena menurut ajaran Islam, malaikat adalah makhluk yang mendorong manusia ke arah perbuatan baik, sedang setan makhluk yang mendorong manusia ke arah perbuatan jahat. Maka dari itu, beriman kepada malaikat, artinya, berbuat sesuai dengan dorongan malaikat yang mendorong ke arah perbuatan baik; dan mengafiri setan, artinya, menolak mengikuti dorongan setan yang mendorong manusia ke arah perbuatan jahat. Oleh sebab itu, arti iman ialah menerima prinsip sebagai landasan bagi perbuatan, dan semua ajaran Islam cocok dengan gambaran ini. Tak ada dogma, tak ada rahasia, tak ada kepercayaan yang tak memerlukan perbuatan. Setiap rukun iman adalah ajaran yang harus diwujudkan dalam perbuatan guna mencapai puncak perkembangan manusia. Rukun Iman Secara singkat, seluruh ajaran agama Islam dapat disimpulkan dalam dua kalimat pendek, yaitu: laa ilaaha illallah, Muhammadur-Rasulullah, artinya, Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Utusan Allah. Hanya dengan mengikrarkan kesaksian (syahadat) akan benarnya dua ajaran yang sederhana itu, orang telah masuk dalam barisan Islam. Dua komponen rukun Islam yang sederhana ini, tak pernah dimuat bersama-sama dalam Qur’an Suci, seperti lazim-nya kalimah syahadat. Namun bagian pertama Kalamah Syahadat ini merupakan tema Qur’an yang tetap; beriman kepada Allah Yang Maha-esa, yang sebenarnya memang tak ada Tuhan selain Allah, ini berulangkali disebut sebagai ajaran pokok, bukan saja bagi agama Islam, melainkan pula bagi tiap-tiap agama yang diwahyukan oleh Allah. Bentuk ayatnya bermacam-macam: “Adakah mereka mem-punyai Tuhan disamping Allah?”. “Tak ada Tuhan selain Allah”; “Tak ada Tuhan selain Dia”; “Tak ada Tuhan selain Engkau”. “Tak ada Tuhan selain Aku”. Kalimat Syahadat bagian kedua: Muhammad Rasulullah adalah sendi terutusnya Nabi Muhammad, yang ini juga merupakan tema Qur’an Suci yang tetap; kalimah ini termuat dalam 48:29. Hadits pun mengajarkan, bahwa syarat utama untuk memeluk Islam ialah mengucapkan dua kalimah syahadat (Bu. 2:40). Menurut istilah ulama fiqih zaman belakangan, apa yang diuraikan di atas disebut iman mujmal, atau uraian iman singkat; adapun iman yang terurai, yang menurut ulama ahli fiqih disebut iman mufasshal, ini diterangkan dalam permulaan Qur’an Suci sebagai: “beriman kepada Yang Maha-gaib (yakni Allah), beriman kepada apa yang diwahyukan kepada para Nabi sebelumnya, dan beriman kepada Akhirat (2:2-4). Selanjutnya dalam Surat al-Baqarah itu juga diuraikan seterang-terangnya tentang lima ajaran iman: “Agar orang beriman kepada Allah, dan Hari Akhir, dan Malaikat, dan Kitab dan para Nabi” (2:177). Berulang kali Qur’an Suci menjelaskan bahwa hanya kepada lima ini sajalah orang harus beriman. Dalam Hadits terdapat sedikit perbedaan. Misalnya dalam Bukhari, diuraikan: “Agar engkau beriman kepada Allah, dan kepada Malaikat-Nya, dan kepada pertemuan dengan Dia, dan kepada Utusan-Nya, dan agar engkau beriman kepada Hari Kebangkitan” (Bu. 2:37). Terang sekali bahwa beriman kepada pertemuan dengan Allah, diuraikan dalam Hadits itu, padahal itu sudah tercakup dalam iman kepada Allah tersebut dalam ayat yang kami kutip di atas; banyak lagi yang disebutkan secara khusus dalam Hadits yang ber-beda dengan Qur’an Suci; lihatlah 13:2 dan sebagainya. Selanjutnya, dalam Hadits, kata Kitab tak disebutkan tersendiri, dan ini tercakup dalam kata “para Nabi”. Jadi menurut Qur’an Suci dan Hadits, rukun iman itu lima, yaitu beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, Nabi-Nya, Kitab Suci-Nya dan kepada Akhirat. Tetapi dalam sebagian Hadits ditambahkan kata-kata: “Agar engkau beriman kepada Qadar (makna aslinya ukuran). Sebenarnya, Qadar itu diterangkan dalam Qur’an sebagai undang-undang Allah, bukan sebagai rukun iman; dan segala undang-undang Allah itu diterima oleh orang Islam sebagai Kebenaran. Arti Iman Sebagaimana telah kami terangkan, semua rukun iman itu sebenarnya landasan bagi perbuatan. Allah adalah Yang mempunyai segala sifat kesempurnaan. Jika orang diharuskan beriman kepada Allah, itu sebenarnya orang diharuskan memiliki sifat-sifat akhlak yang tinggi, yang tujuannya untuk mencapai Sifat Ilahi. Orang harus menempatkan idamannya sebagai suatu cita-cita yang amat luhur dan yang amat suci yang terlintas dalam batin seseorang; dan ia harus menyesuaikan tingkah-lakunya dengan cita-cita itu. Adapun iman kepada malaikat, ialah agar orang menuruti bisikan baik yang men-jadi pembawaan orang, karena malaikat itulah yang menggerakkan bisikan baik itu. Adapun arti iman kepada Kitab Suci, ialah agar kita mengikuti petunjuk yang termuat di dalamnya guna mengembangkan daya batin kita. Beriman kepada para Utusan, artinya, agar kita mencontoh suri-tauladan yang diberikan oleh mereka, dan rela mengorbankan hidup kita untuk kepentingan sesama manusia seperti yang dilakukan oleh mereka. Beriman kepada Akhirat mengajarkan kepada kita bahwa kemajuan materiil atau kemajuan fisik bukanlah tujuan hidup kita. Adapun tujuan hidup yang sebenarnya ialah hidup abadi yang amat luhur yang dimulai sejak Hari Kebangkitan. Nabi dan Rasul Rukun Iman berikutnya ialah iman kepada para Nabi. Kata Arab nabi yang berasal dari kata naba’, artinya, pemberitahuan yang besar faedahnya, yang menyebabkan orang mengetahui sesuatu (R). R. juga menambahkan bahwa kata naba’ hanya diterapkan terhadap pemberitahuan yang tak mungkin salah. Hendaklah diingat bahwa huruf hamzah dalam kata naba’, ini dibuang dalam kata nabi. 1 Seorang ahli bahasa Arab menjelaskan bahwa kata nabi artinya duta besar antara Allah dan makhluk yang berakal (R). Menurut ulama lain, arti kata nabi ialah orang yang memberi informasi tentang Allah (Q), dan ini diberi penjelasan lebih lanjut bahwa nabi ialah orang yang diberi informasi oleh Allah tentang ke-Esa-an-Nya, dan dibukakan kepadanya rahasia zaman yang akan datang, dan ia diberitahu bahwa ia utusan-Nya (TA). Nabi juga disebut rasul, artinya, utusan. Kata nabi dan rasul digunakan secara bergantian dalam Qur’an Suci; orangnya sama, kadang-kadang disebut nabi, kadang-kadang disebut rasul, bahkan sekali-kali disebut nabi dan rasul sekaligus; adapun sebabnya, karena mungkin Nabi itu mempunyai dua kesanggupan (kapasitas), yaitu, ia menerima pemberitahuan dari Allah dan menyampaikan risalah itu kepada manusia. Yang pertama, ia disebut nabi, dan kedua, ia disebut rasul, tetapi dua sebutan ini terdapat perbedaan. Kata rasul mempunyai arti yang lebih luas, yang menurut makna aslinya dapat diterapkan terhadap sembarang utusan, dan para malaikat disebut rusul (utusan Tuhan), jamaknya kata rasul (35:1), karena mereka juga mengemban risalah Tuhan untuk melaksanakan kehendak-Nya. Iman kepada Utusan Allah Sebagaimana telah kami terangkan, iman kepada Kitab Suci atau Wahyu Ilahi, adalah salah satu rukun iman; dan oleh karena wahyu itu harus diundangkan melalui manusia, maka iman kepada Utusan adalah urutan yang wajar. Oleh karena itu, iman kepada Utusan Allah disebutkan bersama-sama dengan iman kepada Kitab Suci-Nya (2:177, 285). Sebenarnya iman kepada para Nabi itu mempunyai arti yang dalam; oleh karena itu, rukun iman ini mendapat tekanan lebih besar lagi. Seorang Nabi bukan saja mengemban amanat Ilahi, melainkan pula harus menunjukkan bagaimana mempraktekkan amanat itu dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Nabi adalah contoh atau suri tauladan yang harus dianut. Hanya tauladan seorang Nabilah yang dapat membangkitkan iman yang hidup dalam hati para pengikutnya, dan membawa perubahan dalam hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa Qur’an Suci memberi tekanan khusus bahwa Nabi itu harus manusia. Pembangunan dan perbaikan manusia hanya dapat dilaksanakan melalui Nabi manusia. Fungsi malaikat hanyalah terbatas untuk menyampaikan amanat Ilahi kepada Nabi, manusia sempurna. Oleh karena itu, malaikat adalah utusan yang diutus kepada Nabi, bukan diutus kepada manusia seumumnya. Malaikat termasuk golongan makhluk lain, dan tak dapat bertindak sebagai contoh bagi manusia. Jadi tugas membangun manusia itu dipercayakan kepada manusia: “Jika di bumi ada malaikat yang berjalan dengan aman, niscaya Kami turunkan kepada mereka dari langit malaikat sebagai utusan” (17:95). “Dan Kami tak mengutus sebelum engkau, kecuali hanya manusia yang kepadanya Kami berikan wahyu … Dan Kami tak memberikan kepada mereka tubuh yang tak makan makanan” (21:7-8). Aturan penetapan seorang Nabi adalah universal Menurut Qur’an Suci, kenabian adalah pemberian Allah kepada manusia secara cuma-cuma (mauhibah), 2 Sebagaimana Allah menghadiahkan rezeki jasmani kepada manusia sama rata, demikian pula Allah menghadiahkan kenabian sebagai hadiah rohani, yang dengan perantara kenabian itu rohani manusia dibangkitkan. Kenabian ini merupakan pemberian cuma-cuma kepada sekalian umat di dunia. Bukan di kalangan bangsa Israel saja para Nabi dibangkitkan, sebagaimana diuraikan dengan terang dalam kitab Bebel. Menurut Qur’an Suci, tak ada satu umat pun di dunia yang tak dibangkitkan seorang Nabi: “Tiada suatu umat, melainkan seorang juru-ingat telah berlalu di antara mereka” (35:24). “Tiap-tiap umat mempunyai seorang Utusan” (10:47). Selanjutnya kita diberitahu bahwa selain para Nabi yang disebutkan namanya: “Dan Kami mengutus para Utusan yang Kami terangkan kepada engkau sebelumnya, dan para Utusan yang tak Kami terangkan kepada engkau” (4:164). Diterangkan dalam Hadits bahwa sebenarnya jumlah Nabi itu 124.000, tetapi yang disebutkan namanya dalam Qur’an Suci hanya 25 Nabi, di antaranya ada beberapa yang tak disebutkan dalam kitab Bebel; Nabi Hud dan Nabi Salih dibangkitkan di tanah Arab, Nabi Luqman di Eithopia, yakni seorang Nabi yang sezaman dengan Nabi Musa yang pada umumnya disebut Hidir, dibangkitkan di Sudan; dan Dzul-Qarnain (Darius I) yang juga seorang raja, dibangkitkan di Persia. Semua itu selaras sekali dengan teori keuniversalan kenabian, seperti kami terangkan di atas. Oleh karena itu, dalam Qur’an diterangkan sejelas-jelasnya bahwa sekalian umat manusia telah kedatangan Nabi, dan Qur’an tak menyebutkan nama seluruh Nabi, yang sebenarnya memang tak perlu, maka orang Islam dapat menerima para pemimpin besar yang oleh umat lain dianggap sebagai orang-orang yang memberi penerangan kepada mereka, yakni sebagai Nabi bangsa mereka. Orang Islam harus beriman kepada sekalian Nabi Qur’an Suci bukan saja menetapkan adanya teori bahwa para Nabi telah dibangkitkan dalam tiap-tiap umat, melainkan lebih dari itu, yakni mengharuskan kaum muslimin beriman kepada sekalian Nabi. Sudah dari permulaan, Qur’an Suci menerangkan bahwa kaum muslimin harus “beriman kepada apa yang diwahyukan kepada engkau dan apa yang diwahyukan sebelum engkau” (2:4); selanjutnya “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diwahyukan kepada kami dan apa yang diwahyukan kepada Ibrahim dan Ismail dan Ishaq dan Ya’qub dan anak cucu, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa, dan apa yang diberikan kepada para Nabi dari Tuhan mereka, dan kami tak membeda-bedakan salah satu di antara mereka” (2:136), dimana kata an-nabiyyun (para Nabi) ini terang-terangan ditujukan kepada para Nabi masing-masing umat. Selanjutnya Qur’an Suci menerangkan bahwa orang Islam harus beriman kepada sekalian Nabi, dan bukan hanya kepada Nabi Suci Muhammad saw saja. “Perbuatan utama ialah bahwa orang harus beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan malaikat dan Kitab dan para Nabi” (2:177). “Rasul beriman kepada apa yang diwahyukan kepada-nya dari Tuhannya, demikian pula kaum mukmin, mereka semua beriman kepada Alah dan malaikat-Nya dan Kitab-Nya dan Rasul-Nya; dan kami tak membeda-bedakan salah satu di antara Utusan-Nya” (2:285). Sebenarnya, beriman kepada sebagian Nabi dan menolak sebagian yang lain, ini dikecam sebagai perbuatan kufur. “Sesungguhnya orang yang mengafiri Allah dan Utusan-Nya dan ingin memisahkan antara Allah dan Utusan-Nya dan berkata: Kami mengimani sebagian dan mengafiri sebagian yang lain; dan mereka ingin mengambil antara ini dan itu; mereka adalah benar-benar kafir” (4:150-151). Jadi beriman kepada sekalian Nabi di dunia adalah ajaran pokok agama Islam, dan walaupun agama Islam itu dapat disimpulkan dalam dua kalimah syahadat singkat, yaitu, “tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Utusan Allah”, tetapi orang yang mengucapkan syahdat Rasul itu hakikatnya meneraima sekalian Nabi di dunia, baik yang namanya disebutkan di dalam Qur’an maupun tidak. Islam mengaku sebagai agama sejagat, yang ini tak dapat dituntut oleh agama-agama lain; demikian pula Islam meletakkan dasar persaudaraan yang amat luas seperti luasnya umat manusia itu sendiri. Nabi Nasional Rencana Tuhan membangkitkan para Nabi untuk memperbaiki dunia sebagaimana diuraikan dalam Qur’an Suci, itu dapat disimpulkan dengan singkat sebagai berikut: Nabi dibangkitkan pada tiap-tiap umat, dan tugasnya hanya terbatas pada umat itu saja, dan dalam banyak hal, untuk satu atau beberapa keturunan saja. Para Nabi itu boleh dikatakan Nabi nasional, dan tugas mereka hanya terbatas pada perbaikan akhlak dan peningkatan rohani umat yang bersangkutan. Tetapi sementara pertumbuhan nasional merupakan kebutuhan mutlak bagi suatu bangsa yang hidup terpisah-pisah dan tak ada sarana penghubung antara masing-masing bangsa, maka tujuan utama yang direncanakan oleh Tuhan ialah mempersatukan dan mengangkat derajat sekalian umat manusia. Umat manusia tak dapat terus-menerus terbagi-bagi dalam kotak-kotak kebangsaan yang kedap, yang didasarkan atas darah dan batas-batas kedaerahan. Sebenarnya, pengkotakan-pengkotakan inilah yang menyebabkan saling curiga mencurigai, yang lama kelamaan menjadi sumber perselisihan dan pertentangan di antara berbagai bangsa, yang masing-masing menganggap dirinya sebagai bangsa pilihan, lalu menghina bangsa lain. Pandangan semacam ini melenyapkan samsekali harapan untuk mempersatukan seluruh umat manusia. Oleh karena itu, sebagai langkah terakhir ialah membangkitkan seorang Nabi yang diperuntukkan bagi sekalian umat manusia, hingga kesadaran akan kesatuan umat dapat disampaikan kepada mereka. Saat bagi Nabi nasional telah berakhir; mereka telah melaksanakan tujuan seperti yang dikehendaki; dan kini tibalah saat datangnya Nabi dunia dalam diri Nabi Muhammad saw untuk memimpin umat menuju cita-cita luhur, yaitu kesatuan umat manusia seutuhnya. Nabi Dunia Cita-cita Nabi Dunia bukanlah hanya didasarkan atas ayat yang termuat dalam Qur’an Suci saja untuk melanjutkan tugas Nabi ini atau Nabi itu, melainkan benar-benar sebagai rencana Ilahi. Jika Qur’an menyebutkan para Nabi yang sudah-sudah, Qur’an berfirman bahwa Nabi Nuh diutus “kepada umatnya” (7:59; 71:1), demikian pula Nabi Hud (7:65), Nabi Salih (7:73), Nabi Syu’aib (7:85); singkatnya, tiap-tiap Nabi diutus kepada umatnya. Terhadap Nabi Musa Qur’an berfirman bahwa beliau diperintahkan supaya “mengeluarkan umat dikau dari gelap ke terang” (14:5); terhadap Nabi ‘Isa dikatakan sebagai: “Utusan kepada kaum Bani Israel” (3:48); tetapi terhadap Nabi Muhammad, Qur’an berfirman dengan kata-kata yang terang: “Dan Kami tak mengutus engkau melainkan sebagai pengemban berita baik dan sebagai juru-ingat kepada sekalian manusia” (34:28). Kata sekalian manusia bahasa Arabnya kaffatan linnaasi; kata kaffatan dimaksud untuk memberi tekanan kuat, bahwa tak ada satu bangsa pun yang dikecualikan dari ajaran rohani Nabi Muhammad saw. Di tempat lain di dalam Qur’an Suci dikatakan bahwa keuniversalan Nabi Muhammad diuraikan: “Katakanlah: Wahai manusia, sesungguhnya aku Utusan Allah kepada kamu semua, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi” (7:158). Satu hal sudah pasti bahwa baik di dalam Qur’an maupun di dalam Kitab Suci yang sudah-sudah, 3 tak ada Nabi lain selain Nabi Muhammad yang dikatakan diutus kepada sekalian manusia, sekalian umat dan sekalian bangsa. Demikian pula Qur’an tak pernah berfirman bahwa Nabi Muhammad hanya diutus kepada umatnya saja. Sungguh benar bahwa beliau diutus supaya memperingatkan “kaum yang ayah-ayahnya belum pernah mendapat peringatan” (36:6), tetapi ini tidak berarti beliau tak diperintahkan supaya memperingatkan bangsa-bangsa selain Arab, karena dalam 25:1 beliau terang-terangan dikatakan sebagai “juru ingat kepada sekalian bangsa”. Malahan Qur’an Suci sendiri berulangkali disebut “juru ingat bagi sekalian bangsa” (68:52; 81:27; 38:87; 12:104). Dan Nabi Muhammad bukan saja juru ingat kepada sekalian bangsa, melainkan pula sebagai rahmat bagi sekalian bangsa: “Dan Kami tak mengutus engkau, melainkan sebagai rahmat bagi sekalian bangsa” (21:107). Pengertian sesudah Nabi nasional pasti datang Nabi Dunia, ini diterangkan seterang-terangnya dalam Qur’an Suci. Seluruh persoalan tentang datangnya Nabi Dunia dan ciri khas agamanya dan perlunya beriman kepadanya, diuraikan sejelas-jelasnya dalam wahyu Madaniyah. 4 Berikut ini kami kutip seluruh ayatnya: “Dan tatkala Allah membuat perjanjian melalui para Nabi: Sesungguhnya apa yang Kami berikan kepada kamu berupa Kitab dan Kebijaksanaan, – lalu Utusan datang kepada kamu, membenarkan apa yang ada pada kamu, kamu harus beriman kepadanya dan harus membantu dia. Ia berfirman: Apakah kamu membenarkan dan menerima perjanjian-Ku dalam perkara ini? Mereka berkata: Kami membenarkan. Ia berfirman: Maka saksikanlah, dan Aku pun menyaksikan bersama kamu. Barangsiapa berbalik sesudah ini, mereka itulah orang yang durhaka. Apakah mereka mencari yang lain selain agama Allah?Dan kepada-Nya berserah diri siapa saja yang ada di langit maupun di bumi dengan sukarela ataupun terpaksa, dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan. Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diwahyukan kepada Ibrahim dan Ismail dan Ishaq dan Ya’qub dan anak cucu, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka; kami tak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kepada-Nya kami tunduk. Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, ia tak akan diterima, dan di Akhirat ia termasuk golongan orang yang rugi”(3:80-84). Bahwa yang diuraikan dalam ayat tersebut ialah Nabi Dunia, ini jelas dari kenyataan, bahwa para pengikut semua Nabi yang sudah lalu sebelum dia, “harus beriman kepadanya dan harus membantu dia”. Oleh karena menurut ajaran Qur’an tiap-tiap umat telah kedatangan Utusan, maka kesimpulannya berarti setiap umat, sebagai pengikut para Nabi yang sudah-sudah, harus beriman kepada Nabi Terakhir. Sebagaimana diuraikan dalam ayat tersebut, ciri khas Nabi Dunia ialah, beliau akan membenarkan “apa yang ada pada kamu”, artinya, beliau akan menjadi saksi tentang kebenaran sekalian Nabi di dunia. Bukalah semua lembaran-lembaran Kitab Suci dan selidikah riwayat suci tiap-tiap umat, anda pasti menemukan, bahwa hanya seorang Nabi sajalah yang membenarkan Kitab Suci sekalian agama dan menjadi saksi akan kebenaran para Nabi yang diutus kepada tiap-tiap umat. Sebenarnya tak seorang pun mencapai julukan Nabi Dunia, jika ia tak memperlakukan sekalian manusia sebagai satu umat, dan setiap orang yang beriman kepada beliau harus beriman pula kepada segenap Nabi di dunia. Oleh karena itu, ayat yang menyuruh supaya beriman kepada semua Nabi, baik itu kepada Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, Musa, ‘Isa dan segenap Nabi lainnya, yang berkali-kali dicantumkan dalam Qur’an Suci, di sini diulangi lagi disertai dengan keterangan yang jelas, bahwa Islam, atau beriman kepada semua Nabi, adalah satu-satunya agama di sisi Allah, dan siapa saja mencari agama selain Islam, yakni hanya beriman kepada seorang Nabi saja dan menolak Nabi-nabi yang lain, ini tak akan diterima, karena, jika beriman hanya kepada seorang Nabi saja, hakikatnya hanya mengakui sebagian kebenaran saja, dan ini sama artinya dengan mendustakan seluruh kebenaran, yakni, setiap umat pernah kedatangan Nabi. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw bukan saja mengaku sebagai Utusan kepada seluruh dunia, sebagai juru ingat kepada sekalian umat, dan sebagai rahmat bagi sekalian bangsa, melainkan beliau meletakkan pula dasar-dasar agama dunia, dengan meletakkan kepada sekalian Nabi di dunia sebagai pokok agama beliau. Inilah satu-satunya ajaran yang dapat disetujui oleh seluruh umat manusia, satu-satunya dasar persamaan kedudukan bagi sekalian bangsa. Gagasan tentang Nabi Dunia bukanlah gagasan liar yang terdapat dalam Qur’an Suci, gagasan ini bukanlah hanya didasarkan atas satu atau dua ayat yang menerangkan bahwa Nabi Dunia telah dibangkitkan untuk memperbaiki sekalian umat; tetapi gagasan tentang Nabi Dunia itu dikembangkan dalam Qur’an Suci dengan panjang lebar, dan semua prinsip yang dapat dijadikan dasar dari agama dunia diterangkan sejelas-jelasnya. Seluruh umat manusia dinyatakan oleh Qur’an sebagai satu umat (2:213). Allah dikatakan sebagai Rabbul’alamin (yang memelihara sekalian alam hingga sempurna) (1:1), para Nabi dinyatakan dalam Qur’an Suci telah dibangkitkan untuk memperbaiki sekalian bangsa (35:24); perbedaan warna kulit, suku bangsa dan bahasa dihilangkan (35:22; 49:13); persaudaraan besar yang meliputi seluruh dunia ditegakkan; tiap-tiap anggota diharuskan mengakui para Nabi masing-masing umat, dan masing-masing umat harus mendapat perlakuan yang sama. Jadi, Nabi Muhammad saw bukan saja Nabi Dunia yang menggantikan para Nabi nasional, melainkan pula telah mendirikan Agama Dunia, yang mengganti cita-cita kebangsaan menjadi kesatuan umat manusia. Para Nabi adalah satu keluarga Semua Nabi dari Allah, oleh karena itu, mereka bersaudara. Ajaran tentang persaudaraan para Nabi ini bukan hanya diwujudkan dalam bentuk larangan membuat perbedaan di antara para Nabi, melainkan ajaran ini diuraikan seterang-terangnya dalam Qur’an dan Hadits. Dalam Surat Al-Anbiya, setelah menerangkan berbagai Nabi, kita diberitahu: “Sesungguhnya kamu satu keluarga” (21:92). Selanjutnya: “Wahai para Utusan! Makanlah barang-barang yang baik, dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya Aku tahu apa yang kamu lakukan. Dan sesungguhnya keluarga kamu adalah keluarga satu dan Aku Tuhan kamu” (23:51-52). Hadits juga menerangkan bahwa sekalian Nabi bersaudara: “Para Nabi itu seakan-akan saudara seibu, urusan mereka satu, dan pengikut mereka berlain-lainan” (Bu. 60:48). Masing-masing Nabi boleh saja mempunyai watak sendiri-sendiri, namun pada umumnya dikatakan satu oleh Qur’an Suci. Adapun yang dimaksud satu, ialah sama dalam ketinggian akhlak, keluhuran watak, kemuliaan ajaran maupun tawakkalnya kepada Allah.5 Tentang Nabi Ibrahim, Qur’an menerangkan bahwa beliau “orang tulus” (19:41); tentang Nabi Musa dikatakan bahwa beliau “orang yang disucikan” (19:51) atau orang “yang dibesarkan di hadapan mata-Ku” (20:39). Tentang Nabi Ismail dikatakan bahwa beliau “Orang yang setia pada perjanjian” atau orang yang diridloi oleh Tuhan” (19:54,55). Tentang Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih dan Nabi Luth dikatakan bahwa mereka “orang yang dapat dipercaya” (26:107, 125, 143, 162). Tentang Nabi ‘Isa dikatakan bahwa beliau “Orang yang terhormat di dunia dan di Akhirat, dan termasuk golongan orang yang terdekat kepada Allah” (3:44). Tentang Nabi Yahya dikatakan bahwa “kepadanya Kami berikan hikmah … dan kehalusan budi dari Kami dan kesucian, dan ia orang yang menjaga diri dari kejahatan, dan ia menurut perintah orang tuanya, dan tidak sombong atau durhaka” (19:12-14), atau beliau itu “orang yang terhormat dan suci” (3:38). Salah sekali jika dikira bahwa sifat luhur yang diberikan kepada seorang Nabi, ini tak dimiliki oleh Nabi yang lain. Semua Nabi satu keluarga, bangkit untuk melaksanakan satu tujuan, pada hakikatnya ajaran semua Nabi sama, mereka semua tulus, dapat dipercaya dan terhormat; mereka semua dekat kepada Allah, semua suci, semua bertaqwa, dan tak seorang pun di antara mereka sombong dan durhaka kepada Allah. Mengapa Allah mengutus para Nabi? Para Nabi diutus untuk memperbaiki umat manusia dan untuk membebaskan mereka dari budaknya perbuatan dosa. Sebagaimana diuraikan dalam Bab sebelum ini, Wahyu Ilahi itu diperlukan untuk memungkinkan manusia menaklukkan setan, sebab jika tak ditundukkan akan merintangi gerak lajunya akhlak dan rohani manusia. Manusia disuruh untuk tinggal di Sorga rohani, tetapi karena manusia tak tahan menghadapi godaan setan, maka wahyu Ilahi datang untuk menolong manusia; dan ditetapkanlah aturan untuk sepanjang masa, agar itu dijadikan pedoman bagi manusia: “Akan datang kepada kamu pimpinan dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti pimpinan-Ku, tak ada ketakutan akan menimpa mereka, dan tak pula mereka akan susah” (2:38). Kata “takut” yang dimaksud ialah takut akan godaan setan, yang untuk menghilangkannya, diturunkan wahyu Ilahi kepada manusia. Selanjutnya, tiap-tiap Nabi mengajarkan Tauhid (Keesaan Allah); adapun tujuan ajaran tauhid telah kami uraikan dalam Bab II, yakni untuk meningkatkan derajat manusia dalam segala bidang, baik jasmani, akhlak maupun rohani. Dan setiap Nabi disebut mubasysyir (pemberi kabar baik) dan mundhir (juru ingat) (2:213); kabar baik ini bertalian dengan kemajuan dan ketinggian derajat manusia, sedang peringatan, ini bertalian dengan hambatan dan terganggunya kemajuan manusia. Selain itu, empat pekerjaan Nabi yang acapkali diuraikan dalam Qur’an Suci adalah: “Kami telah mengutus kepada kamu seorang utusan dari golongan kamu yang membacakan kepada kamu ayat-ayat Kami, dan menyucikan kamu, dan mengajarkan kepada kamu Kitab dan Kebijaksanaan” (2:151). Bahasa Arabnya menyucikan ialah yuzakki, berasal dari kata zaka yang menurut Imam Raghib makna aslinya Kemajuan yang dapat dicapai dengan rahmat Tuhan, yakni, kemajuan yang dicapai dengan mengembangkan daya kemampuan yang ditanamkan oleh Allah dalam batin manusia, baik yang menyangkut urusan dunia maupun akhirat, artinya, menyangkut kemajuan jasmani maupun rohani manusia. Oleh karena itu, ajaran Nabi tentang menyucikan, bukan saja menyucikan manusia dari dosa, melainkan pula menggairahkan manusia untuk mengembangkan jasmani dan rohaninya. 6 Semua ajaran Qur’an Suci menunjukkan bahwa tujuan terutusnya para Nabi hanyalah untuk meningkatkan derajat manusia agar manusia mampu menaklukkan hawa nafsu dan menghayati dirinya dengan cita-cita yang luhur dan mulia, dan mencelup dirinya dengan akhlak Tuhan. Para Nabi itu ma’shum (tak berdosa) Ditinjau dari terutusnya para Nabi, terang sekali bahwa orang yang diserahi jabatan yang tinggi itu, harus dengan sendirinya suci dari dosa, bahkan lebih dari itu, yakni mereka harus memiliki pula akhlak mulia. Oleh karena itu ajaran bahwa para Nabi itu ma’shum (suci dari dosa) adalah ajaran yang dijunjung tinggi oleh kaum Muslimin. Akan tetapi para penulis Kristen yang menulis tentang keislaman, berusaha keras untuk menunjukkan bahwa ajaran itu bertentangan dengan Qur’an Suci, 7 tetapi pendapat itu tak benar samasekali. Qur’an Suci bukan saja menyebut para Nabi dengan kata-kata yang bersifat memuji, melainkan pula menerangkan seterang-terangnya bahwa para Nabi tak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah, baik ucapan maupun perbuatan. Qur’an berfirman: “Dan tiada Kami mengutus seorang Utusan sebelum engkau kecuali telah Kami wahyukan kepadanya bahwa sesungguhnya tak ada Tuhan selain Aku, maka mengabdilah kepada-Ku. Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha-pemurah telah memungut seorang putera. Maha-suci Dia. Malahan mereka hamba Allah yang terhormat; mereka tak pernah berkata sebelum Dia berfirman, dan mereka hanya bekerja sesuai perintah-Nya” (21:25-27). 8 Dan di lain tempat Qur’an berfirman: “Dan tak pantas bagi seorang Nabi ia berlaku tak jujur” (3:160). Dua ayat tersebut menerangkan secara umum suatu prinsip bahwa para Nabi tak berdosa, sedang ayat sebelumnya menerangkan bahwa setiap Nabi dinyatakan dengan kata-kata yang bersifat memuji; yang satu disebut shiddiq artinya, orang yang tak pernah berkata dusta, yang lain dikatakan telah disucikan oleh Allah, dan diasuh di hadapan-Nya. Yang lain lagi digambarkan sebagai orang yang diridlai Allah, yang lain lagi dikatakan sebagai orang yang dihormati dan dekat kepada Allah dan kebanyakan mereka, termasuk pula Nabi Muhammad, digambarkan sebagai al-amin, artinya, orang yang benar-benar dapat dipercaya. Oleh karena itu, Qur’an tak pernah menaruh keraguan sedikit pun terhadap kesucian para Nabi dari dosa. Istighfar Dalam Qur’an Suci terdapat beberapa perkataan yang disalah tafsirkan oleh beberapa kritikus Barat yang langsung tergesa-gesa menarik kesimpulan bahwa Qur’an tak membenarkan ajaran kesucian para Nabi dari dosa. Di antara perkataan-perkataan itu yang paling menonjol ialah kata istighfar yang pada mumnya diartikan mohon ampun dari dosa. Tetapi sebenarnya, kata ini mengandung arti lebih luas. Kata istighfar berasal dari kata ghafara, artinya menutupi suatu barang dengan sesuatu yang dapat melindunginya dari kotoran (R). Oleh karena itu, kata istighfar berarti mohon perlindungan dari perbuatan dosa. Qasthalani menerangkan ini sejelas-jelasnya dalam tafsir beliau tentang Hadits Bukhari, dan beliau menambahkan bahwa ghafara berarti satara, artinya, menutupi atau menghalang-halangi, baik antara manusia dan dosanya, maupun antara dosa dan hukumannya (Qs. I, hal. 85). Apabila sudah terang bahwa menurut ajaran Qur’an para Nabi itu tak berdosa, maka kata istighfar hanya dapat diartikan mohon perllindungan dari dosa yang manusia sewaktu-waktu dapat terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Oleh karena itu, istighfar para Nabi hanya berarti larinya para Nabi kepada Allah untuk mohon perlindungan dari perbuatan dosa, karena hanya dengan perlindungan Tuhan sajalah para Nabi selalu bebas dari dosa, itulah sebabnya mengapa dalam Hadits diterangkan bahwa Nabi Suci setiap hari beristighfar seratus kali; artinya, setiap waktu beliau mohon perlindungan Allah, dan berdo’a agar beliau tak berbuat yang bertentangan dengan kehendak Allah. Sebenarnya, istighfar atau mohon perlindungan adalah do’a untuk mohon bantuan Allah dalam meningkatkan rohaninya menuju kesempurnaan yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Bahkan orang yang telah masuk Sorga pun dilukiskan oleh Qur’an Suci tetap menjalankan istighfar: “Tuhan kami, sempurnakanlah nur kami, dan berilah perlindungan kepada kami (ighfirlana), sesungguhnya Engkaulah Yang berkuasa atas segala sesuatu” (66:8). Biasanya kata ighfir lana diterjemahkan dengan ampunilah kami, tetapi pengampunan yang dalam arti sempit ialah mengampuni dosa, ini tak ada artinya, karena orang yang masuk Sorga itu pasti orang yang telah diampuni dosanya. Oleh karena itu, kata ighfir lana di sini berarti mohon pertolongan Allah dalam meningkatkan rohaninya, yang ini akan terus berlangsung setelah orang meninggal dunia. Di tempat lain, Qur’an Suci menggambarkan maghfirah yang ini sama dengan ghafara sebagai nikmat Sorga: “Dan mereka di sana akan memperoleh segala macam buah-buahan dan perlindungan (maghfirah) dari Tuhan mereka” (47:15). Oleh karena itu salah satu nikmat yang akan dinikmati oleh orang tulus di Sorga ialah maghfirah, dengan demikian, manusia di Sorga akan memperoleh pertolongan Tuhan dalam kemajuan yang tak ada putus-putusnya. Dhanbun Perkataan yang disalah tafsirkan lagi ialah kata dhanbun yang biasanya diterjemahkan dosa. Tetapi kata dhanbun ini mempunyai arti luas. Menurut seorang ulama, kata dhanbun makna aslinya mengambil ekor sesuatu, dan ini diterapakan terhadap setiap perbuatan yang akibatnya tak menyenangkan atau tak menyegarkan (R). Menurut ulama lain, dhanbun berarti dosa atau kejahatan atau kesalahan, dan ini berlainan dengan kata itsmun, dalam arti bahwa dhanbun dilakukan karena kelalaian dan tak disengaja, sedangkan itsmun dilakukan secara sengaja (LL). Oleh karena itu, dhanbun ialah dosa yang dilakukan karena kekurangan dan kerusakan batin yang disebabkan oleh kelengahan. Dalam hal ini terdapat perbedaan besar antara orang tulus dan orang jahat. Orang tulus, tanpa menyimpang sedikit pun dari ketulusannya, selalu merasa bahwa ia kurang berbuat baik kepada sesamanya, atau kurang memenuhi kewajiban kepada Allah; dengan demikian, walaupun ia selalu sibuk melakukan perbuatan baik, namun ia masih merasa ada kekurangan dalam dirinya. Tetapi perasaan semacam itu, walaupun dialami oleh orang jahat, namun perbedaannya besar sekali. Bagi orang jahat, perasan semacam itu disebabkan karena ia berbuat jahat atau dengan sengaja menentang kehendak Allah, sedang bagi orang tulus, perasaan semacam itu disebabkan karena ia tak merasa puas akan perbuatan baik yang ia lakukan terhadap sesama manusia Khatha’ Perkataan lain lagi yang perlu dijelaskan sehubungan dengan ini, ialah kata khatha’ atau khathi’ah. Kata ini mempunyai arti yang luas juga. Menurut Imam Raghib, jika orang berniat melakukan perbuatan baik, tetapi tiba-tiba ia melakukan perbuatan yang bukan maksudnya, maka ia menjalankan kesalahan (khathi’ah). Menurut ulama lain, perbedaan antara khathi’ah (kesalahan) dan itsmun (dosa), ialah, dalam itsmun terdapat unsur kesengajaan, sedangkan dalam khathi’ah tidak (IJ-C.V. hal. 162). Jika seorang mujtahid (orang yang menjalankan ijtihad) tak dapat mencapai kesimpulan yang benar dan membuat khatha’ (kesalahan) dalam keputusannya, ia tetap memperoleh satu ganjaran selama ia berniat baik. Oleh karena itu, kata khathi’ah dan khatha’ tidak berarti dosa. Peristiwa Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim Kecaman kaum Nasrani terhadap Islam, terutama sekali ditujukan kepada ajaran sucinya para Nabi dari dosa. Sebagaimana kami terangkan di muka, kecaman itu disebabkan adanya ajaran Kristen tentang penebusan dosa, yang dengan sendirinya ajaran ini akan runtuh jika ada orang lain yang dianggap tak berdosa seperti Yesus Kristus. Tetapi kecaman itu tak didasarkan atas suatu prinsip yang diuraikan dalam Qur’an Suci, karena di sana diuraikan dengan kata-kata yang terang bahwa semua Nabi itu setia kepada perintah Allah, baik ucapan maupun perbuatannya, selain dalam beberapa hal tentang Nabi perseorangan.. Sebagian besar kecaman yang salah alamat itu disebabkan keliru memahami empat perkataan yang telah kami terangkan di muka, yaitu kata ghafara, istighfar, dhanbun, dan khatha’. Misalnya dikatakan bahwa Nabi Nuh berdosa karena beliau mohon kepada Allah: “Tuhanku, aku mohon perlindungan Dikau dengan memohon kepada Engkau dari sesuatu yang aku tak tahu tentang sesuatu itu. Jika Engkau tak mengampuni (taghfir) aku dan berbelas-kasih kepadaku, niscaya aku menjadi orang yang rugi” (11:47). Perkataan yang artinya mengampuni ialah ghafara seperti telah kami terangkan, berarti memberi perlindungan, baik terhadap perbuatan dosa maupun terhadap siksaan akibat perbuatan dosa itu; dan permohonan Nabi Nuh ini bukanlah sekali-kali menunjukkan pengakuan berbuat dosa di pihak beliau. Demikian pula Nabi Ibrahim dipandang sebagai orang yang berdosa, karena beliau dikatakan di dalam Qur’an seakan-akan beliau mendambakan agar Allah “berkenan mengampuni kesalahanku (khathi’ati) pada Hari Kiamat” (26:82). Menjalankan kesalahan jelas berbeda dengan mendurhaka terhadap perintah Allah, dan tak seorang pun di antara para kritikus yang sehat akalnya dapat memutar-balikkan kata-kata itu sebagai pengakuan perbuatan dosa. Nabi Suci Muhammad Nabi Suci Muhammad dikatakan sebagai orang yang berdosa karena beliau diperintahkan untuk mohon perlindungan Tuhan (istighfar) dari dhanbun (dosa). Mohon perlindungan dari dosa bukanlah berarti perbuatan dosa telah dilakukan, bahkan orang yang mohon perlindungan Tuhan itu lebih menjaga dirinya dari berbuat dosa, selain itu, kata-kata yang digunakan dalam arti tersebut ialah dhanbun yang artinya kekurangan manusiawi. Ayat berikut ini kiranya perlu dibahas panjang lebar: ” Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada engkau kemenangan yang terang agar Allah berkenan memberi perlindungan kepada engkau dari yang telah terjadi sebelumnya tentang dhanb dikau atau dhanb yang dilakukan terhadap engkau (dhanbika) dan apa yang terjadi belakangan” (48:1,2). Sekalipun kami ambil makna yang pertama, yaitu dhanb dikau atau kesalahan dikau, namun ini tidaklah berarti Nabi Suci telah berbuat dosa, melainkan hanya kekurangan Nabi Suci sebagai manusia, karena, sebagaimana telah kami terangkan, kata dhanb mempunyai arti luas. Tetapi yang benar, kata dhanbika di sini berarti dhanb yang dilakukan terhadap engkau, bukan dhanb dikau. Menurut ulama kenamaan, yang dimaksud kemenangan dalam kalimat pertama, ialah gencatan senjata di Hudaibiyah (Bu. 65, Surat 48:1). Selama kaum Muslimin dan kaum kafir terlibat perang yang berlarut-larut, kaum kafir tak mempunyai kesempatan untuk merenungkan keindahan agama Islam. Sebenarnya, mereka memang benci kepada agama Islam. Mereka tak pernah berhubungan dengan Nabi Suci, kecuali di medan pertempuran sebagai musuh. Oleh karena itu, mereka mempunyai gambaran yang buruk terhadap Nabi Suci. Gencatan senjata yang dilakukan di Hudaibiyah adalah kemenangan bagi agama Islam, atau setidak-tidaknya menguntungkan sekali bagi agama Islam, karena gencatan senjata itu mengakhiri permusuhan, dan oleh karena perdamaian meliputi seluruh daerah, maka kaum kafir bergaul sebebas-bebasnya dengan kaum Muslimin, dan hal-hal yang baik dalam Islam dibarengi dengan akhlak yang tinggi dari Nabi Suci, mengesan sekali dalam hati mereka. Segala kesalahan dan syak prasangka lenyap samasekali, dan orang-orang mulai tertarik kepada keindahan ajaran Islam. Dalam arti inilah gencatan senjata di Hudaibiyah yang dalam Qur’an disebut kemenangan Islam yang terang, yang menjadi sarana perlindungan (ghafara) bagi Nabi Suci dari segala keburukan yang dilancarkan terhadap beliau. Hati kaum kafir telah ditaklukkan, dan sikap mereka terhadap Islam berobah samasekali. Jumlah kaum Muslimin meningkat dengan cepat, dan kini tak ada lagi cela-mencela. Adapun yang dituju oleh kalimat “apa yang terjadi kemudian”, ialah kecaman-kecaman pada zaman akhir terhadap Islam, demikian pula keburukan-kebnurukan yang dilancarkan terhadap Nabi Suci. Sebaliknya, semua kesalah pahaman dan salah pengertian akan disapu bersih. Kalimat idhafah itu sudah lazim dalam bahasa Arab. Misalnya, Qur’an menerangkan berulangkali tentang syuraka-ullah (sekutu-sekutu Allah), tetapi yang dimaksud ialah sekutu yang dilakukan kepada Allah oleh kaum musyrik. Demikian pula kata itsmi dalam 5:29, ini yang dimaksud bukanlah dosaku, melainkan dosa yang dilakukan terhadap aku. Qur’an berfirman: “Sesungguhnya Aku lebih suka engkau akan memikul dosa yang engkau lakukan terhadap aku (itsmi) dan dosa engkau sendiri” (5:29). Nabi Musa Nabi Musa juga dikatakan berbuat dosa karena membunuh seorang bangsa Mesir, tetapi Qur’an Suci menerangkan bahwa beliau hanya menggunakan tinjunya saja guna menangkis serangan orang Mesir yang sedang menganiaya orang Israel (28:15), dengan demikian kematian orang Mesir itu hanyalah kebetulan saja. Tak ada undang-undang yang dapat menjatuhkan kesalahan kepada orang yang dalam keadaan demikian. Di tempat lain, Qur’an memang menggunakan kata dlall terhadap Nabi Musa sehubungan dengan peristiwa itu (26:20), tetapi dlalla di sini berarti bingung atau kacau (LL); dan kata dlalla yang artinya mirip dengan itu digunakan sehubungan dengan Nabi Muhammad dalam 93:7, yaitu beliau tak dapat menemukan sendiri jalan yang menuju ke arah kenabian (R). 9 Hal itu bukan saja nampak dalam hubungan ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya, melainkan terang pula dari sejarah Nabi Muhammad sendiri, bahwa sejak beliau masih kanak-kanak, beliau bukan saja menjauhkan diri dari penyembahan berhala, tetapi juga dari segala kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat Arab, sebagaimana diisyaratkan oleh Qur’an Suci: ” Kawan kamu tak berbuat salah, dan tak pula menyimpang” (53:2). Walaupun beliau hidup di tengah-tengah masyarakat biadab, namun beliau bukan saja bersih dari keburukan masyarakat itu, tapi juga beliau mendambakan ingin menemukan cara untuk menyelamatkan mereka dari keburukan. Beliau melihat di sekitar beliau orang-orang yang jatuh ke lembah kehinaan, tetapi beliau tak tahu bagaimana cara mengatasi mereka, hanya Allah sendirilah Yang menunjukkan jalan kepada beliau, sebagaimana diuraikan dalam ayat ini: “Dan Dia menemukan dikau tak dapat menemukan jalan, lalu Dia menunjukkan jalan itu” (93:7). Nabi Adam Adapun Nabi Adam, Qur’an memang menerangkan bahwa “Adam durhaka kepada Tuhannya” (20:121), namun di sini tak diterangkan bahwa Nabi Adam melakukan perbuatan dosa, karena sebelum terjadi peristiwa itu, Qur’an menerangkan sseterang-terangnya: “Sesungguhnya sebelum itu Kami telah memberi peringatan kepada Adam, tetapi ia lupa; dan Kami dapati ia tak sengaja (berbuat durhaka)” (20:115). Jadi di pihak Nabi Adam tak ada niat untuk mendurhaka kepada perintah Allah; hanya karena kealpaan sajalah yang menyebabkan terjadinya pendurhakaan itu. Peristiwa serupa itu diuraikan pula dalam 2:30, tetapi di sini tak digunakan kata ‘asha (mendurhaka), melainkan digunakan kata azalla artinya membuat ia tergelincir. Jadi menurut Qur’an Suci, tak ada Nabi yang melakukan perbuatan dosa, oleh karena itu, ajaran tentang sucinya para Nabi dari dosa, tak dapat diganggu gugat lagi. Pengertian mukjizat menurut Islam Perkataan yang digunakan oleh Qur’an untuk menerangkan mukjizat ialah ayat, yang makna aslinya tanda bukti atau tanda, yang dengan tanda itu orang dapat mengenal sesuatu (R). Pada umumnya kata ayat yang digunakan dalam Qur’an Suci berarti tanda bukti atau pekabaran Ilahi. Kata ayat dalam arti pertama mencakup pula mukjizat, sedang dalam arti kedua, berarti ayat Suci al-Qur’an. Penggunaan kata ayat dalam arti tanda bukti dan pekabaran Ilahi, perlu sekali mendapat perhatian, yakni pekabaran Ilahi sendirilah yang pertama-tama membuktikan benarnya pekabaran itu, dan itulah sebabnya mengapa Qur’an selalu dipandang oleh kaum Muslimin sebagai mukjizat Nabi Suci yang terbesar. Memang Qur’an itu merupakan mukjizat terbesar yang pernah diberikan kepada seorang Nabi, karena Qur’an tak memerlukan adanya tanda bukti yang lain, bahkan Qur’an itu sendiri menjadi bukti yang hidup di sepanjang masa tentang kebenarannya. Orang-orang Kristen yang menulis tentang Islam, pada umumnya berpendapat bahwa walaupun Qur’an mencatat beberapa mukjizat para Nabi, namun Qur’an tak mengakui samasekali adanya mukjizat yang diberikan kepada Nabi Suci selain Qur’an. Memang pengertian Qur’an tentang mukjizat berlainan sekali dengan pengertian Kristen. Bagi agama Kristen mukjizat adalah segala-galanya. Mukjizat bukan saja menggantikan dalil, melainkan pula seluruh ajaran Kristen didasarkan atas mukjizat. Bukankah kebangkitan Yesus dari kematian itu suatu mukjizat? Mukjizat seperti itu tak perlu pembuktian, karena jika Yesus tak bangkit dari kematian, seluruh bangunan Kristen sudah pasti hancur berantakan. Jadi seluruh ajaran Kristen itu didasarkan atas mukjizat, maka dari itu tak heran jika dalam Kitab Injil, mukjizat bukan saja menggantikan kedudukan dalil, tetapi juga menggantikan kedudukan hukum atau syari’at, dan juga menggantikan ajaran moral maupun rohani. Orang yang sudah mati dibangkitkan dari kubur, berpuluh orang sakit disembuhkan, orang buta dibuat melek, orang lumpuh dibuat berjalan, orang tuli dibuat mendengar, air biasa diubah menjadi anggur, setan-setan diusir, dan masih banyak lagi kejadian yang dipertunjukkan. 10 Jika segala keajaiban itu hanya dibesar-besarkan, atau karena salah paham, atau bahkan hanya bikin-bikinan saja, adalah soal lain, akan tetapi dengan adanya ajaran itu, orang memperoleh kesan bahwa tujuan seorang Nabi bukanlah untuk melaksanakan perubahan dalam batin manusia dengan jalan iman kepada Allah, dan untuk meyakinkan suatu kebenaran bukanlah dengan tanda-bukti atau pertimbangan akal, melainkan dengan keajaiban-keajaiban. Pengertian mukjizat menurut Qur’an amatlah berlainan. Menurut Qur’an, tujuan seorang Nabi ialah untuk melaksanakan perobahan akhlak dan rohani manusia. Adapun caranya ialah, dengan minta bantuan akal dan hati untuk memperoleh keyakinan bahwa wahyu Ilahi itu dimaksud untuk memperbaiki diri sendiri; di samping itu, Qur’an menarik pelajaran dari sejarah umat yang sudah-sudah, bahwa umat yang mau menerima kebenaran selalu beruntung, sedang umat yang menolak kebenaran mengalami kehancuran. Dalam rencana Tuhan, mukjizat mempunyai tempat tersendiri, sesuatu yang besar dan di luar kemampuan serta pengertian manusia kadang-kadang diperlihatkan sekedar untuk menunjukkan bahwa sumber Wahyu Kebenaran itu gaib. Jadi menurut Qur’an, tujuan utama terutusnya para Nabi adalah untuk melaksanakan perobahan akhlak dan rohani umatnya; dan untuk mencapai tujuan itu digunakanlah bermacam alat yang masing-masing mempunyai nilai sekundair; dan di antara tanda-bukti kebenaran para Nabi, mukjizat tidaklah menempati kedudukan tertinggi. Itulah sebabnya mengapa Qur’an Suci jarang sekali menerangkan mukjizat; Qur’an hanya penuh dengan dalil, dan berkali-kali menarik perhatian dari kodrat manusia, dan berulangkali meriwayatkan sejarah umat yang sudah-sudah. Namun demikian, Qur’an tak mengingkari adanya mukjizat. Qur’an berfirman: “Dan mereka bersumpah demi Allah dengan sekuat sumpah mereka, jjika sekiranya tanda bukti datang kepada mereka, mereka pasti akan mengimani itu. Katakanlah: Tanda bukti itu ada pada Allah, dan apakah yang membuat kamu tahu bahwa apabila itu datang, mereka tak akan beriman” (6:110). Kata-kata “tanda bukti itu ada pada Allah”, ini jelas sekali mengandung makna bahwa tanda bukti yang luar biasa akan diperlihatkan kepada mereka sebagai bukti terutusnya Nabi Muhammad. Sungguh aneh, beberapa kritikus Barat melihat ayat tersebut sebagai ayat yang mengingkari bukti-bukti, hanya karena dalam ayat itu dikatakan, bahwa “tanda bukti ada pada Allah”. Memang benar bahwa Qur’an tak menggambarkan Nabi Muhammad sebagai orang yang membuat keajaiban, sebgaimana Kitab Injil menggambarkan Yesus Kristus. Tanda bukti bukanlah diperlihatkan pada waktu Nabi Muhammad menghendaki itu, atau pada waktu para musuh menuntut itu, melainkan pada waktu dikehendaki oleh Allah. Oleh karena itu, manakala dituntut tanda-bukti yang luar biasa tentang benarnya Nabi Muhammad, jawabnya ialah, tanda bukti semacam itu pasti akan datang bilamana Allah menghendakinya. Ayat Qur’an lainnya yang menerangkan pengiriman tanda-bukti yang banyak disalah mengertikan oleh umum, ialah ayat 17:59 yang berbunyi: “Dan tak ada yang menghalang-halangi Kami untuk mengirimkan tanda bukti, selain hanya karena orang-orang zaman dahulu menolak itu … dan tiada Kami mengirimkan tanda bukti selain hanya untuk memperingatkan manusia”. Ayat ini tidak berarti, karena orang-orang zaman dahulu menolak tanda bukti, maka Allah tak akan mengirimkan itu lagi. Jika itu yang dimaksud, niscaya Allah tak akan mengirimkan lagi ayat-Nya, karena orang-orang zaman dahulu telah menolak itu. Tetapi oleh karena kata ayat mempunyai dua makna, yakni tanda-bukti dan pekabaran Ilahi, maka alasan untuk menolak itu berlaku untuk dua-duanya. Sebenarnya arti ayat tersebut sudah terang, yakni apabila ada hal yang dianggap dapat menghalang-halangi Allah untuk mengirimkan pekabaran Ilahi atau tanda bukti yang baru, maka hal itu ialah penolakan orang-orang zaman dahulu, tetapi ini tak pernah terjadi. Allah telah menganugerahkan rahmat-Nya secara merata kepada semua generasi, dan penolakan oleh generasi sebelumnya bukanlah menjadi alasan untuk mencabut kesempatan generasi mendatang untuk menerima tanda-bukti petunjuk Tuhan. Mukjizat Nabi Muhammad Sebagaimana telah kami terangkan, mukjizat Nabi Muhammad terbesar ialah Qur’an Suci. Ini bukanlah pikiran kaum Muslimin yang timbul belakangan, karena Qur’an Suci sendiri mengaku sebagai mukjizat, dan menentang seluruh dunia supaya membuat yang sama seperti Qur’an. Qur’an berfirman: “Jika manusia dan jin bergabung menjadi satu untuk membuat yang seperti Qur’an ini, mereka tak dapat membuat yang seperti itu, walaupun sebagian mereka membantu sebagian yang lain” (17:88). “Atau mereka berkata: Ia membuat-buat kebohongan. Katakanlah: Datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat seperti ini, dan panggillah siapa saja yang kamu dapat selain Allah, jika kamu orang tulus” (11:13). “Apakah mereka berkata: Dia membuat-buat ini. Katakan: Datangkanlah satu surat seperti ini, dan panggilah siapa saja yang kamu dapat selain Allah jika kamu orang tulus” (10:38). “Dan jika kamu ragu-ragu terhadap apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat seperti ini, dan panggillah pembantu kamu selain Allah, jika kamu orang tulus” (2:23). Jika pengakuan Qur’an itu begitu kuat, maka tak kalah hebatnya bukti pengakuan itu, yang untuk membuktikan itu kami kutip beberapa tulisan dari para penulis kenamaan sebagai berikut: “(Qur’an) adalah mukjizat yang dimiliki oleh Muhammad – ‘mukjizat abadi’ menurut pengakuannya, dan itu sungguh-sungguh mukjizat” (Bosworth Smith, Life of Mohammed, hal. 290). “Qur’an itu tak ada taranya sebagai kekuatan yang meyakinkan, kefasihan bahasa, bahkan dalam hal susunannya” (Hirshfeld, New Reseaches, hal. 8). “Tak pernah suatu bangsa terpimpin begitu cepat ke arah peradaban, melebihi bangsa Arab yang dipimpin oleh Islam” (Idem, hal. 5). “Sukar sekali menemukan bangsa yang lebih bercerai-berai daripada bangsa Arab, sampai tiba-tiba terjadi sesuatu yang ajaib. Seorang laki-laki bangkit, yang dengan kepribadiannya dan pengakuannya menerima pimpinan langsung dari Tuhan, benar-benar melaksanakan sesuatu yang mustahil, yaitu mempersatukan semua golongan yang saling bertempur” (The ins and outs of Mesoptamia, hal. 99). “Penulis Arab yang terbaik tak pernah berhasil membuat sesuatu yang sama hebatnya seperti Qur’an, tidak mengherankan” (Palmer, Introduction to Translation of Qur’an, hal. LV). Singkatnya, Qur’an adalah mukjizat, karena Qur’an telah melaksanakan perubahan yang terbesar yang pernah terjadi di dunia, baik perubahan orang seorang, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, baik dalam bidang materil, intelektual, moril maupun spiritual. Qur’an mengahsilkan seratusribu kali lebih besar daripada yang dihasilkan oleh mukjizat Nabi lain yang pernah diceritakan . Oleh sebab itu, pengakuan Qur’an sebagai mukjizat terbesar tak dapat dibantah lagi dan memang tak ada taranya. Ramalan Dalam Qur’an Suci ramalan menduduki tempat paling utama di antara sekalian mukjizat; dan sebenarnya, ramalan itu dalam beberapa hal, menduduki kedudukan istimewa di atas sekalian mukjizat. Pada umumnya, mukjizat itu adalah pengejawantahan kekuasaan Allah, demikian pula ramalan menempati kedudukan istimewa dalam ilmu Allah yang tak ada batasnya yang meliputi hal-hal yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi. Tetapi ada seauatu yang kurang menguntungkan dalam hal mukjizat yang bentuknya hanya perwujudan dari kekuasaan Tuhan semata. Karena bagi mukjizat semacam itu, sukar sekali untuk menentukan bukti yang dapat dipercaya di sepanjang masa. Mungkin beberapa orang telah menyaksikan sendiri terjadinya mukjizat semacam itu, dan mungkin pula behwa pembuktian mereka memuaskan orang-orang yang sezaman dengan mereka, tetapi semakin lama, pembuktian mereka semakin kurang nilainya. Oleh karena itu, suatu mukjizat perlu diuji kebenarannya terlebih dulu sebelum itu digunakan sebagai bukti kebenaran pengakuan seorang Nabi, dan dalam banyak hal, sukar sekali, bahkan kadang-kadang tak mungkin, untuk membuktikan bahwa mukjizat semacam itu benar-benar pernah terjadi. Kesulitan lain dalam hal mukjizat ialah adanya kenyataan, bahwa, betapapun ajaibnya pertunjukkan mukjizat itu, dapat saja diterangkan secara ilmiah; dengan demikian, pertunjukkan ajaib itu tak mempunyai nilai lagi sebagai tanda bukti seseorang yang mengaku sebagai utusan Tuhan. Misalnya, mukjizat besar Yesus Kristus. Di antara mukjizat yang paling besar ialah menghidupkan orang mati, salah satu kasus yang berhubungan dengan seorang puteri seorang raja. Yesus Kristus diriwayatkan bersabda: “Budak perempuan ini bukannya mati, hanya tidur” (Matius 9:24). Pada waktu itu tak ada surat keterangan dokter yang bisa menerangkan bahwa puteri itu mati sungguh-sungguh, sekalipun menurut kesan keluarganya, ia betul-betul sudah mati. Yesus Kristus sendiri tahu bahwa ia hanya tidur, atau barangkali dalam keadaan pingsan saja. Lalu jika para murid beliau tak salah mengerti akan kata-kata beliau yang penuh tamsil, dan Yesus memang banyak menggunakan kalam ibarat, 11 maka mungkin sekali bahwa orang yang dianggap mati itu, tidak mati sungguhan. Dan inilah sebenarnya yang terjadi dalam peristiwa Yesus sendiri yang dianggap mati, tetapi sesungguhnya belum mati, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta yang ditulis dalam Injil itu sendiri. Lebih diragukan lagi ialah mukjizat Yesus tentang menyembuhkan orang sakit, mengingat adanya kenyataan bahwa mukjizat semacam itu dilakukan pula oleh para musuh beliau, demikian pula mengenai Kolam Ajaib yang membuat orang buta bisa menjadi melek, dan bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Tetapi keraguan semacam itu tak pernah terjadi dalam hal ramalan yang tahan uji terhadap penelitian ilmiah. Selain itu, bukti tentang benarnya suatu ramalan, berdiri di atas landasan yang kokoh sekali, dan biasanya ramalan itu terpenuhi setelah beberapa waktu lamanya. Ramalan yang datangnya dari Allah, pasti membuka rahasia suatu peristiwa yang peristiwa itu di luar jangkauan pengetahuan manusia, dan yang tak mungkin dilihat oleh pandangan jauh manusia. Dan ramalan itu pasti ada hubungannya dengan maksud-maksud Allah meningkatkan derajat manusia, karena ramalan itu tidaklah dimaksud untuk memuaskan sifat ingin tahu semata-mata. Akhirnya di belakang ramalan itu ada kekuatan yang meyakinkan sehingga ramalan itu bukan saja diucapkan dengan penuh keyakinan, melainkan pula diucapkan dalam keadaan yang nampaknya bertentangan dengan apa yang dibentangkan dalam ramalan itu. Ramalan yang memenuhi tiga syarat itu adalah mukjizat yang paling besar, mukjizat yang berdasarkan pikiran sehat menunjukkan, bahwa Allah itu ada, Yang membukakan rahasia yang dalam kepada manusia, lalu kepada-Nya manusia dapat berhubungan. Ramalan tentang kemenangan Islam Ramalan yang disebutkan dalam Qur’an dan diucapkan oleh Nabi Suci banyak memenuhi kitab-kitab Hadits, dan banyak menceritakan hari depan yang begitu jauh hingga memerlukan pembahasan tersendiri. Tetapi kami ingin mengemukakan satu contoh untuk menjelaskan apa yang kami uraikan di atas. Qur’an Suci mengutamakan ramalan besar tentang kemenangan Islam, dan Surat-surat yang diturunkan pada zaman permulaan penuh dengan ramalan semacam itu yang diungkapkan dalam berbagai bentuk. Surat-surat diturunkan dan ramalan-ramalan diundangkan pada waktu Nabi Suci masih sendiri dan dalam keadaan tak berdaya, dikelilingi oleh musuh yang berniat untuk membinasakan beliau. Beberapa gelintir pengikut beliau yang dikejar-kejar dengan bengisnya, terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya dan mengungsi ke negara tetangga. Nampaknya tak ada harapan sedikit pun bagi agama Islam untuk mendapatkan kemajuan dalam menghadapi kekuatan raksasa berupa kemusyrikan dan penyembahan berhala. Segala kepercayaan tahayul dan segala macam kejahatan bahu-membahu melawan Islam. Segala macam usaha untuk memperbaiki bangsa Arab yang dilakukan oleh kaum Yahudi yang mendiami beberapa tempat di tanah Arab, demikian pula usaha kaum missionaris Kristen yang mempunyai backing kerajaan Romawi di sebelah utara dan kerajaan Abyssinia di sebelah selatan dan barat, dan usaha bangsa Arab asli yang dikenal dengan Gerakan Hanif, semuanya mengalami kegagalan, dan gagalnya usaha mereka menggambarkan keputusasaan bagi segala gerakan pembaharuan. Namun kendati adanya kecemasan dan keputus-asaan di segala bidang, Qur’an Suci mengundangkan ramalan demi ramalan yang diundangkan dengan kata-kata yang meyakinkan yang antara lain para musuh Islam akan menderita kehinaan dan kebinasaan, dan agama Islam akan menjadi agama seluruh tanah Arab, dan kerajaan Islam akan didirikan, dan kaum Muslimin akan menang dalam pertempuran, dan para musuh akan mengalami kekalahan, dan agama Islam akan tersiar ke segala penjuru dunia, dan agama Islam akhirnya akan mengalahkan sekalian agama di dunia.12 Bukankah semua itu diuraikan dalam Qur’an Suci dengan kata-kata yang terang. dan diuraikan pada waktu agama Islam tak mempunyai harapan sedikit pun untuk memperoleh kemenangan? Bukankah semua ramalan itu terpenuhi pada waktu Nabi Suci masih hidup? Ini pertanyaan sederhana, dan setiap orang yang kenal al-Qur’an dan ajaran Islam, pasti tidak akan ragu-ragu untuk menjawab bahwa semua itu benar. Akan tetapi nilai ramalan mukjizat Nabi Muhammad amatlah luas. Dalam Qur’an Suci banyak sekali ramalan yang mengagumkan, lebih-lebih dalam Hadits. Ramalan itu meramalkan kejadian yang akan datang, yang di antaranya banyak pula yang terpenuhi di zaman kita sekarang ini. Hampir setiap generasi melihat dengan mata kepala sendiri terpenuhinya ramalan besar itu, hingga tak perlu membuka-buka buku sejarah untuk mengetahui ramalan apa yang diramalkan oleh Nabi Muhammad pada abad sebelumnya. Ciri lain dari ramalan itu ialah, ramalan itu dianugrahkan pula kepada para pengikut Nabi Muhammad yang saleh pada tiap-tiap abad. Jadi, bukan saja ramalan Nabi Muhammad yang kita saksikan pada tiap-tiap abad, melainkan pula ramalan-ramalan para pengikut beliau yang saleh, karena ramalan itu diwariskan pula kepada para pengikut beliau yang setia dan tulus. 13 Allah pemberi syafa’at yang sebenarnya Ada hal yang perlu dijelaskan sehubungan dengan kedudukan para Nabi dalam Islam, yaitu syafa’at. Kata syafa’at berasal dari kata syaf’un yang artinya membuat sesuatu menjadi pasangan ((TA), atau, menyatukan suatu barang dengan jenisnya (R). Jadi, kata syafa’at artinya menyatukan seseorang dengan orang lain yang menolongnya, terutama sekali bila orang yang mempunyai kehormatan dan kedudukan tinggi menyatukan diri dengan orang yang kedudukannya lebih rendah (R). Qur’an Suci menerangkan bahwa pemberi syafa’at (syafi’) yang sebenarnya ialah Allah sendiri. “Selain Dia, mereka tak mempunyai pelindung (waliyy) dan pemberi syafa’at (syafi’)” (6:51, 70). Dan di tempat lain diuraikan “Syafa’at itu hanya milik Allah semata” (39:44). Kadang-kadang syafa’at itu disebutkan sehubungan dengan penguasaan Allah terhadap segala sesuatu, sebagaimana diuraikan dalam 32:4: “Allah ialah Yang menciptakan langit dan bumi dan segala sesuatu yang di antaranya dalam enam masa, dan Dia memegang kekuasaan di atas Singgasana. Selain Dia, kamu tak mempunyai pelindung dan pemberi syafa’at. Apakah kamu tak ingat?” Jadi, menurut Qur’an Suci, syafa’at itu benar-benar di tangan-Nya; oleh karena itu, Qur’an berulangkali menyatakan bahwa tak ada yang dapat memberi syafa’at di hadapan-Nya, kecuali dengan izin-Nya (10:3; 2:225). Berhala tak diakui sebagai pemberi syafa’at: “Dan mereka tak mempunyai pemberi syafa’at dari berhala mereka” (30:13). “Dan mereka mengabdi kepada selain Allah yang tak membahayakan dan tak pula menguntungkan mereka, dan mereka berkata: Inilah pemberi syafa’at kami di sisi Allah” (10:18). Siapakah yang dapat memberi syafa’at? Yang dapat memberi syafa’at di hadapan Allah dengan izin-Nya antara lain ialah malaikat. Qur’an berfirman: “Dan banyak malaikat di langit yang syafa’atnya tak berguna sedikit pun kecuali setelah Allah memberi izin kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia pilih” (53:26). Para Nabi juga dikatakan sebagai pemberi syafa’at: “Dan Kami tak mengutus Utusan sebelum engkau, melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwa tak ada Tuhan selain Aku, maka mengabdilah kepda-Ku. Dan mereka berkata: Tuhan Yang Maha-pemurah memungut putera. Maha Suci Dia. Malahan merekalah hamba (Allah) yang terhormat. Mereka tak mendahului Dia dalam ucapan, dan mereka berbuat sesuai perintah-Nya. Dia tahu apa yang ada di muka mereka dan apa yang ada di belakang mereka, dan mereka tak memberi syafa’at kecuali orang yang Dia ridloi, dan mereka gemetar karena takut kepada-Nya” (21:25-28). Kaum Mukmin juga dikatakan sebagai pemberi syafa’at: “Dan orang-orang yang mereka sebut selain Dia tak memiliki syafa’at, kecuali orang yang menyaksikan Kebenaran, dan mereka tahu” (43:86). Oleh karena setiap orang Mukmin menyaksikan Kebenaran, maka ayat itu dapat diambil sebagai ayat yang menerangkan syafa’at kaum mukmin. Ayat lain yang nampaknya menerangkan syafa’at kaum mukmin sejati adalah: ” Mereka tak memiliki syafa’at kecuali orang yang membuat perjanjian dengan Tuhan Yang Maha-pemurah” (19:87); sejak setiap orang mukmin sejati telah membuat perjanjian dengan Tuhan, maka ayat itu pun membicarakan syafa’at kaum mukmin sejati. Hadits juga menerangkan syafa’at Allah, syafa’at malaikat, para Nabi dan kaum mukmin. Satu Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang syafa’at, di akhiri dengan uraian: “Lalu Allah berfirman: Malaikat telah memberi syafa’at, para Nabi telah memberi syafa’at, dan kaum mukmin telah memberi syafa’at, kini tinggallah Tuhan Yang Maha-pemurah, lalu Dia mengambil segenggam dari Neraka, dan dikeluarkan dari sana orang yang tak pernah berbuat kebaikan” (Bu. 97:24). Genggaman Allah berarti tak ada lagi yang ketinggalan. Syafa’at Allah Sebagaimana kami uraikan di muka sehubungan dengan kamus bahasa Arab, arti kata syafa’at yang sebenarnya ialah pertolongan yang diberikan oleh orang yang mempunyai kedudukan tinggi kepada orang berkedudukan rendah, yang kedudukannya amat membutuhkan pertolongan. Dalam arti inilah kata syafa’at digunakan dalam Qur’an. Adapun syafa’at dalam arti perantara, yang menggambarkan adanya Tuhan yang murka, yang di satu pihak bermaksud untuk menjatuhkan hukuman terhadap orang dosa, dan di lain pihak adanya permohonan dari orang berdosa, ini bukanlah arti syafa’at menurut Qur’an Suci, karena menurut Qur’an, pemberi syafa’at (syafi’) yang sebenarnya ialah Allah sendiri, bukan Allah yang murka yang harus menghukum orang berdosa, baik dosa yang ia lakukan 14 maupun yang tak ia lakukan, melainkan Allah Yang Maha-pemurah, Yang untuk kepentingan manusia, Dia berbuat begitu jauh, hingga Dia mengeluarkan dari Neraka orang yang tak pernah berbuat kebaikan sedikit pun. Oleh karena itu, syafa’at Allah ialah pertolongan Allah Yang Maha-pemurah, yang memungkinkan orang berdosa bebas dari hukuman kejahatan yang ia lakukan, setelah lain-lainnya mengalami kegagalan. Syafa’at malaikat Syafa’at malaikat diterangkan dalam Qur’an Suci: “Para malaikat yang memikul Singgasana dan malaikat yang ada di sekelilingnya memahasucikan dengan memuji Tuhan mereka, dan beriman kepada-Nya, dan memohonkan perlindungan untuk orang-orang beriman: Tuhan kami, Engkau merangkum segala sesuatu dengan rahmat dan ilmu, maka berilah perlindungan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Dikau, dan selamatkanlah mereka dari siksa Neraka. Tuhan kami, masukkanlah mereka ke Sorga yang kekal yang Engkau janjikan kepada mereka, demikian pula kepada orang yang baik di antara ayah-ayah mereka dan isteri mereka dan keturunan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha-perkasa, Maha-bijaksana. Dan selamatkanlah mereka dari keburukan; dan orang yang Engkau selamatkan dari keburukan pada hari itu, Engkau sungguh telah bermurah hati kepadanya. Dan itulah hasil yang besar” (40:7-9). “Langit hampir-hampir pecah di sebelah atasnya, dan para malaikat memahasucikan dengan memuji Tuhan mereka, dan memohonkan ampun untuk orang yang ada di bumi. Ingatlah! Sesungguhnya Allah Maha-pengampun, Maha-pengasih” (42:5). Teranglah bahwa dalam ayat pertama, para malaikat diuraikan memohon perlindungan dan rahmat Tuhan bagi kaum mukmin khususnya, sekalipun belakangan diikut-sertakan pula ayah-ayah mereka, isteri dan keturunan mereka. Dalam ayat kedua, para malaikat diuraikan memohonkan ampun bagi kaum mukmin dan kaum kafir. Oleh karena itu, syfa’at malaikat itu meliputi dua-dua-nya, kaum mukmin dan kaum kafir. Sebagaimana telah kami terangkan dalam bab Malaikat, hubungan rohani malaikat dengan manusia ialah, malaikat membisikkan kepada manusia supaya berbuat baik dan mulia; oleh karena itu, syafa’at malaikat itu berhubungan dengan orang yang melakukan perbuatan baik, baik ia beriman kepada Nabi maupun tidak. Dan syafa’at malaikat itu berwujud do’a, dengan maksud agar Allah berkenan memberi rahmat dan pengampunan kepada makhluk-Nya. Syafa’at para Nabi dan kaum Mukmin Kemurahan Allah itu terbabar melalui para Nabi, dan inilah syafa’at para Nabi. Keliru sekali jika dikira bahwa syafa’at para Nabi hanya diberikan pada Hari Kiamat, dan hanya terbatas berupa pertolongan ampun bagi orang mati. 15 Syafa’at Nabi itu berupa perubahan dalam kehidupan bangsa dan menyelamatkan mereka dari perbuatan dosa, dan menuntun mereka ke jalan yang benar. Dalam Qur’an Suci diterangkan bahwa Nabi Muhammad dibangkitkan untuk menyucikan manusia (2:151). Menyucikan itu bahasa Arabnya yuzakki, berasal dari kata zaka, makna aslinya, kemajuan yang dicapai dengan kemurahan Tuhan (R). Penyucian (tazkiyah) dan kemajuan bangsa Arab yang mengagumkan, baik dalam bidang jasmani, keintelektualan, akhlak maupun rohani, inilah bukti nyata syafa’at Nabi Muhammad yang seterang-terangnya. Beliau selalu berdo’a untuk kesejahteraan umat beliau, dan do’a beliau menyebabkan “perasaan lega” bagi orang yang dido’akan (9:103). Beliau juga diperintahkan untuk beristighfar bagi umat beliau, sebagaimana diuraikan dalam 3:158; 4:64; 24:62; 47:19; 60:12; dan seperti juga para malaikat, istighfar beliau adalah syafa’at bagi mereka. Syafa’at kaum Mukmin sama sifatnya. Kaum mukmin yang tingkat rohaninya tinggi, membantu kaum mukmin yang tingkat rohaninya masih rendah dengan do’a dan suri-tauladan. Contoh syafa’at semacam ini diuraikan seterang-terangnya dalam Qur’an Suci: “Barangsiapa menyatukan diri dengan orang lain (yasyfa) dalam perkara kebaikan (syafa’atan hasanatan), ia akan memperoleh bagian dari itu” (4:85). Kata asli yang digunakan di sini ialah syafa’atan; adapun artinya ialah, apabila orang memberi teladan yang baik lalu diikuti oleh orang lain dan bermanfaat bagi mereka, ia akan memperoleh ganjaran. Syafa’at pada Hari Kiamat Dari uraian tersebut, terang sekali bahwa doktrin syafa’at menurut Islam, itu dimaksud untuk menyatakan kemurahan Tuhan yang tak ada batasnya. Syafa’at itu mula-mula dilaksanakan di dunia ini. Di antaranya dilaksanakan oleh para malaikat dengan jalan membisikkan kepada manusia supaya berbuat baik, dan berdo’a kepada Allah agar manusia diselamatkan dari kejahatan, dan agar berkah dan rahmat Tuhan diberikan kepada manusia dan dilaksanakan pula oleh para Nabi yang diutus oleh Allah untuk membebaskan maunusia dari perbudakan dosa, dan memimpinnya pada jalan yang benar, yang dengan do’a dan suri tauladan mengentas manusia dari gelapnya kejahatan menuju sinar kemurahan Allah dan berkah-Nya; dan dilaksnakan pula oleh kaum mukmin yang telah mencapai derajat kesempurnaan, dan yang karena mengikuti jejak Nabi Besar Muhammad, mampu memberi syafa’at kepada orang-orang yang ketinggalan di belakang. Tetapi menurut ajaran Qur’an, kemajuan manusia tak terbatas sampai di dunia saja. Kehidupan Akhirat menantikan manusia untuk melanjutkan kemampuan yang lebih tinggi lagi; Hari Kiamat adalah saat terbabarnya buah perbuatan manusia, apakah itu perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Pada Hari Kiamat syafa’at Nabi Muhammad adalah yang paling istimewa, hingga para Nabi yang lain tak melakukan hak istimewa itu, sampai Nabi Muhammad bersujud kepada Allah dan memuji Dia setinggi-tinggi pujian, dan berdo’a kepada-Nya dengan penuh khidmat. Pada saat itulah Allah berfirman kepada beliau: “Wahai Muhammad bangkitlah dan sujud dan berbicaralah, dan permohonan dikau akan dikabulkan, dan berilah syafa’at, dan syafa’at engkau pasti akan diterima” (Bu. 81:51). Maka tak heran jika pada Hari Kiamat syafa’at Nabi Muhammad sangat tinggi derajatnya, karena di dunia ini pun, syafa’at beliau yang paling istimewa, hingga syafa’at Nabi-nabi yang lain tak ada artinya jika dibandingkan dengan syafa’at beliau. Revolusi jasmani, akhlak dan rohani yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad begitu hebat, hingga dengan suara bulat beliau diakui sebagai “pemimpin agama dan Nabi yang paling sukses” (Enc. Brit. article koran). Allah menurunkan rahmat-Nya kepada manusia melalui malaikat; para Nabi dan para pengikut mereka yang tulus; bantuan yang mereka berikan kepada manusia membuktikan bahwa dalam tingkatan hidup yang tinggi mereka akan memberikan pula bantuan semacam itu. Tetapi oleh karena rahmat Allah itu tak ada batasnya, maka orang yang tak menghiraukan bisikan malaikat, dan tak menghiraukan pula seruan para Nabi dan orang-orang tulus, yang menurut istilah Hadits disebut “orang yang tak pernah berbuat kebaikan”, mereka pun dengan rahmat Ilahi akan dinaikkan derajatnya oleh Tuhan Yang Maha-pemurah, dan oleh karena mereka diselamatkan dari hukuman atas perbuatan dosa yang mereka lakukan, mereka berada di jalan yang benar menuju kemajuan yang tak ada batasnya. Nabi terakhir Dalam Qur’an, Nabi Muhammad saw dikatakan sebagai Nabi terakhir. Qur’an berfirman: ” Muhammd bukanlah ayah seseorang dari orang-orang kamu, melainkan Utusan Allah dan penutup sekalian Nabi (khatamun-nabiyyin). Dan Allah senantiasa Maha-tahu akan segala sesuatu ” (33:40). Kata-kata khatamun-nabiyyin, artinya penutup sekalian Nabi, karena, baik kata khatam maupun khatim, dua-duanya berarti bagian terakhir dari apa saja (LL). Semua ahli kamus bahasa Arab yang baik, sepakat bahwa kata khatamul-qaumi berarti kaum terakhir (TA). Oleh karena itu, ajaran tentang Nabi Muhammad saw sebagai Nabi terakhir, ini berlandaskan firman Allah yang terang benderang. Hadits Nabi menerangkan lebih jelas lagi. Kata khatamun-nabiyyin dijelaskan oleh Nabi Suci Muhammad sendiri yakni: “Perumpamaanku dan perumpamaan para Nabi sebelumku seperti perumpamaan orang yang membangun satu rumah, dan membuatnya amat baik dan indah, kecuali satu batu yang ada di sudut; lalu orang mengelilingi rumah itu dan mengagumi bangunan itu, dan mereka berkata: Mengapa batu di sudut ini tak dipasang? Nabi Suci berkata: Akulah batu sudut itu, dan akulah penutup sekalian Nabi” (Bu. 61:18). Hadits yang menerangkan Nabi Suci sebagai batu sudut dan Nabi terakhir, itu diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Tirmidhi, demikian pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal yang meriwayatkan Hadits itu lebih dari sepuluh tempat. Hadits lain yang menerangkan Nabi Suci sebagai Nabi terakhir adalah: “Bangsa Israel dipimpin oleh para Nabi, manakala seorang Nabi wafat, datanglah Nabi lain menggantikannya, tetapi sesudahku tak akan ada Nabi lagi, kecuali hanya para khalifah” (Bu. 60:50). Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam beberapa tempat. Menurut Hadits yang lain, pada waktu pengiriman pasukan ke Tabuk, Nabi Suci diriwayatkan bersabda kepada Sayyidina ‘Ali yang ditinggalkan di Madinah mewakili beliau: “Apakah engkau tak senang bahwa engkau dan aku mempunyai kedudukan yang sama seperti kedudukan Harun dan Musa, hanya bedanya, sesudahku tak akan ada Nabi lagi” (Bu. 64:78). Hadits serupa itu menerangkan bahwa sesudah Nabi Muhammad saw tak akan ada Nabi lagi, banyak sekali termuat dalam kitab yang lain. Nabi untuk sekalian umat dan segala zaman Pengertian bahwa kenabian telah berakhir pada diri Nabi Muhammad saw bukanlah pengertian sesaat. Sebaliknya, ini adalah kesimpulan yang wajar tentang teori keuniversalan Wahyu Ilahi yang ini merupakan pokok asasi agama Islam. Menurut ajaran Qur’an, wahyu bukanlah pengalaman khusus bangsa ini atau bangsa itu saja, melainkan pengalaman rohani bagi seluruh umat manusia. Dalam Surat al-Fatihah ayat permulaan, Allah dikatakan sebagai Rabbul-‘alamin, artinya, Yang mengasuh sekalian umat hingga sempurna, baik jasmani maupun rohani. Berpangkal pada dasar yang luas ini, Qur’an mengembangkan suatu teori, bahwa tiap-tiap bangsa pernah kedatangan Nabi: “Tak ada umat, kecuali juru ingat telah berlalu di kalangan mereka” (35:24). “Tiap-tiap umat mempunyai utusan” (10:47). Di samping itu, Qur’an menerangkan bahwa tiap-tiap Nabi hanya diutus kepada suatu umat. Oleh karena itu, walaupun dalam suatu segi kenabian adalah kenyataan universal, namun di lain segi boleh dikata suatu lembaga nasional, yang ruang-lingkup ajaran tiap-tiap Nabi hanyalah terbatas bagi bangsanya sendiri. Dengan datangnya Nabi Muhammad, lembaga kenabian dibuat universal (sejagat dalam arti yang sesungguhnya). Zaman Nabi nasional telah lampau, dan kini dibangkitkan seorang Nabi untuk seluruh dunia, untuk semua bangsa dan segala zaman. Qur’an berfirman: “Maha berkah Dia Yang telah menurunkan furqan kepada hamba-Nya, agar Dia memberi ingat kepada sekalian bangsa” (25:1). “Katakanlah: Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu semua. Dialah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi” (7:158). “Dan Aku tak mengutus engkau, melainkan sebagai pengemban berita baik dan juru-ingat kepada sekalian manusia, tetapi kebanyakan manusia tak tahu” (34:28). Persatuan umat manusia didasarkan atas khataman-nubuwwah Oleh karena itu, Nabi dunia menggantikan tempat Nabi Nasional, dan cita-cita luhur tentang persatuan umat manusia, dan persatuan mereka di bawah satu panji, terlaksana dengan sempurna. Batas-batas kedaerahan, dan segala macam rintangan yang disebabkan perbedaan warna kulit dan suku-bangsa, disapu bersih, dan kesatuan umat didasarkan atas satu prinsip yang luhur, yaitu sekalian manusia adalah satu, dan sekalian manusia, di mana pun mereka berada, adalah satu umat (2:213). Persatuan semacam itu tak akan berdiri tegak, kecuali bila kenabian telah berakhir, karena jika setelah datangnya Nabi dunia tetap akan datang Nabi baru, ini pasti akan menuntut keta’atan umat Nabi ini atau umat Nabi itu, dan ini pasti akan menggoyahkan landasan persatuan yang dituju oleh agama Islam, dan ini hanya bisa dicapai dengan adanya seorang Nabi bagi seluruh dunia. Arti khatamun-nubuwwah Selanjutnya perlu ditambahkan di sini bahwa dengan berakhirnya kenabian, Islam tidaklah merampas hak dunia untuk memperoleh kenikmatan rohani seperti yang diperoleh oleh generasi yang sudah-sudah. Tujuan mengutus seorang Nabi kepada manusia adalah untuk mengundangkan Kehendak Ilahi, dan menunjukkan jalan, yang dengan melalui jalan itu manusia dapat behubungan dengan Allah. Tujuan semacam ini disempurnakan melalui Nabi Besar dunia, yang risalahnya begitu sempurna hingga ini memenuhi segala kebutuhan, bukan saja bagi orang-orang yang sezaman dengan beliau, namun juga bagi generasi mendatang. Hal ini diakui seterang-terangnya oleh Qur’an Suci, suatu pengakuan yang tak pernah dilakukan oleh Kitab Suci atau agama-agama lain. Qur’an berfirman: “Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu dan Aku lengkapkan nikmat-Ku kepada kamu” (5:3). Jadi kesempurnaan agama berhubungan erat dengan kesempurnaan wahyu kenabian, dan wahyu kenabian dibuat sempurna dalam diri Nabi Suci Muhammad saw. Maka lucu sekali bila orang tak bisa memperoleh nikmat rohani, padahal mereka mempunyai kenikmatan itu dalam bentuk yang paling sempurna. Agama telah disempurnakan, demikian pula Kenabian, maka dari itu dengan datangnya Islam, tak diperlukan lagi agama lain, demikian pula dengan datangnya Nabi Muhammad saw tak diperlukan lagi datangnya Nabi yang lain. Turunnya al-Masih Ada satu ramalan dalam Hadits, bahwa al-Masih akan turun di kalangan umat Islam. Dalam kitab Bukhari, Hadits itu berbunyi: “Bagaimanakah perasaan kamu jika Ibnu Maryam turun di kalangan kamu, dan ia seorang Imam dari golongan kamu (imamukum min-kum)” (Bu. 60:49). Dalam kitab Muslim bukan disebut imamukum minkum, tetapi ammakum minkum (M. 1:70), tetapi ini sama artinya seperti tersebut dalam Kitab Bukhari. Sedikit banyak, ramalan ini menimbulkan salah paham, bahwa yang akan datang di kalangan kaum Muslimin ialah al-Masih ‘Isa bin Maryam. Adapun sebabnya ialah mereka tak memperhatikan sungguh-sungguh akan ajaran Qur’an tentang Nabi terakhir, karena jika mereka memperhatikan sungguh-sungguh, maka tak diperlukan lagi datangnya seorang Nabi sesudah Nabi Muhammad saw, baik Nabi lama maupun Nabi baru, sebagaimana diuraikan seterang-terangnya di dalam Qur’an Suci. Sebenarnya, dengan munculnya Nabi lama, sedikit banyak akan menjatuhkan ajaran kkatamun-nubuwwah, dan merongrong derajat Nabi dunia yang terakhir, sama halnya jika yang muncul itu Nabi baru. Kata-kata yang termuat dalam ramalan itu adalah begitu terang, hingga mustahil akan terjadi salah paham, jika orang suka memperhatikan kata-kata itu. Ibnu Maryam yang disebutkan dalam ramalan itu, terang-terangan disebut “seorang Imam dari golongan kamu”. Oleh karena itu, yang dimaksud di sini, bukanlah Nabi ‘Isa yang berasal dari bangsa Israel. Ramalan tentang turunnya al-Masih di kalangan kaum Muslimin hampirlah sama dengan ramalan tentang turunnya Nabi Ilyas yang kedua di kalangan kaum Bani Israel. Sebenarnya, keadaan Nabi Ilyas dan Nabi ‘Isa mempunyai persamaan kejadian yang ajaib. Kitab Bebel menerangkan tentang Nabi Ilyas seperti ini: “Maka demikianlah peri Elia naik ke Surga dalam guruh” (dalam terjemahan Injil belakangan dikatakan “dalam angin puting beliung” pen.) (Kitab Raja-Raja II, 2:11). Berdasarkan ayat itu, kaum Yahudi percaya bahwa Nabi Ilyas masih hidup di langit. Lalu ada ramalan yang berbunyi: “Bahwasanya Aku menyuruhkan kepadamu Elia, nabi itu, dahulu daripada datang dari Tuhan yang besar dan hebat itu” (Kitab Maleachi 4:5). Ini menunjukkan bahwa Nabi Ilyas akan turun ke bumi, sebelum datangnya Nabi ‘Isa. Namun demikian, harapan yang didasarkan atas ayat tersebut, tetap tak kunjung datang. Nabi ‘Isa dihadapkan pada kesukaran ini: “Maka murid-muridnya pun bertanya kepadanya sambil berkata: Apakah sebabnya segala ahli Torat mengatakan bahwa tak dapat tiada, Elias akan datang dahulu?” (Matius 17:10). Nabi ‘Isa menjawab: “Memang Elias itu datang … Tetapi Aku berkata kepadamu, bahwa Elias itu sudah datang, maka tiadalah dikenal orang akan dia … Maka barulah murid-murid itu mengerti, bahwa Ia mengatakan kepadanya tentang hal Yahya Pembaptis” (Matius 17:11-13) Mengapa dalam ramalan, Yahya Pembaptis disebut Elias? Karena beliau dikatakan dalam Kitab Bebel sebagai: Dan ialah yang akan berjalan di hadapan Tuhan dengan roh kuasa Elias” (Lukas 1:17). Dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang menerangkan bahwa Nabi ‘Isa naik ke langit. Sebaliknya, Qur’an menerangkan seterang-terangnya bahwa Nabi ‘Isa wafat secara wajar. 16 Oleh karena itu, tak ada alasan sedikit pun untuk mengira bahwa Nabi ‘Isa masih hidup di langit. Selanjutnya kitab Bebel menerangkan seterang-terangnya bahwa Nabi Ilyas akan diturunkan, tetapi ramalan yang diuraikan dalam Hadits tentang turunnya Nabi ‘Isa ditambahkan kalimat: “Ia adalah seorang Imam dari golongan kamu”. Bahkan seandainya Nabi ‘Isa masih hidup di langit, dan kalimat yang kami kutip di atas tak membuat terangnya arti ramalan itu, maka analogy tentang turunnya Elias itu, cukuplah untuk melenyapkan segala kesalah-pahaman tentang turunnya ‘Isa al-Masih. Ditambah lagi dengan adanya kenyataan yang amat menentukan dan amat kuat bahwa karena kenabian telah berakhir pada diri Nabi Muhammad, maka kenyataan ini menutup segala kemungkinan datangnya seorang Nabi sesudah beliau, baik Nabi lama maupun Nabi baru. Datangnya para Mujaddid Tetapi hendaklah diingat, bahwa Wahyu Ilahi itu selain dianugerahkan kepada para Nabi, juga dianugrahkan kepada orang yang bukan Nabi. Oleh karena itu, walaupun wahyu kenabian tak diperlukan lagi karena telah ditutup, namun pemberian wahyu kepada hamba Allah yang tulus, tetap berlangsung seperti sediakala. Manusia tak membutuhkan lagi Nabi baru, karena mereka telah mempunyai undang-undang yang sempurna berupa Qur’an, tetapi mereka tetap membutuhkan nikmat Tuhan, dan Wahyu Ilahi adalah nikmat Tuhan yang paling besar. Selain itu, sifat kalam adalah sifat Tuhan, seperti halnya sifat sama’ (mendengar) dan bashar (melihat), dan sifat-sifat Tuhan lainnya tetap kekal. Dalam bab yang sudah lalu telah kami terangkan, bahwa menurut Hadits sahih, bagian dari kenabian yang disebut mubasysyarat (makna aslinya impian yang baik), tetap akan diberikan setelah berakhirnya kenabian (Bu. 91:5), dan menurut Hadits lain lagi, Allah tetap akan berfirman kepada orang tulus dari umat ini (umat Islam) sekalipun mereka bukan Nabi (Bu. 62:6). Dan ada Hadits lagi yang menerangkan bahwa para Mujaddid akan muncul di kalangan umat Islam: “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan bagi umat ini (umat Islam), pada permulaan tiap-tiap abad, orang yang akan memperbaharui agama mereka” (AD 36:1). Mujaddid dibangkitkan untuk menghilangkan segala kesalahan yang masuk di kalangan kaum Muslimin, dan untuk memancarkan sinar baru dalam ajaran-ajaran Islam, sesuai dengan situasi dan kondisi baru yang dihadapi oleh umat Islam. [] ___________________________________________________________________________________________ Catatan Kaki: 1. Oleh sebab itu, ada sebagian ulama yang mempunyai pendapat, bahwa kata nabi itu berasal dari kata nubuwwah yang artinya keadaan menjadi mulia. 2. Qur’an Suci sendiri juga disebut pemberian Allah: “Tuhan Yang Maha-pemurah (al-Rahman) mengajarkan al-Qur’an” (55:1-2). Artinya, Qur’an adalah pemberian Allah cuma-cuma, bukan hasil perbuatan yang dilakukan oleh manusia, karena al-Rahman artinya Tuhan Yang mencukupi kebutuhan makhluk-Nya dengan cuma-cuma. Selanjutnya kita diberitahu bahwa tak ada orang yang bisa mencapai derajat kenabian atas jerih-payahnya sendiri, melainkan Allah saja yang mengangkat seseorang menjadi Nabi jika Dia bermaksud memperbaiki manusia. Jika pertanyaan kaum kafir, mengapa wahyu tak diturunkan kepada mereka, ini dijawab dengan: “Allah tahu benar di mana menempatkan Utusan-Nya” (6:125). 3. Nabi ‘Isa adalah Nabi Nasional terakhir. Walaupun kini ajaran Kristen disebarkan ke seluruh bangsa di dunia, namun ini bukanlah cita-cita Nabi ‘Isa sendiri. Beliau yakin seyakin-yakinnya bahwa “Tiadalah Aku disuruh kepada yang lain selain kepada domba yang sesat dari antara Bani Israel” (Matius 15:24). Beliau begitu yakin hingga beliau tak segan-segan menyebut “anjing” kepada orang yang bukan keturunan Israel, sedang kepada keturunan Israel sendiri, beliau menyebutnya “anak-anak” sebagaimana diuraikan dalam Kitab Matius 15:26: “Tiada patut diambil roti dari anak-anak, lalu mencampakkan kepada anjing”. Sekalipun demikian, cita-cita mencampakkan roti Yesus kepada “anjing” yang bukan keturunan Israel, masuk dalam pikiran murid-murid Yesus setelah “anak-anak” tak mau menerima roti itu. 4. Dalam buku The Creed of Islam yang terbit baru-baru ini, tuan A.J. Wensinck mengemukakan teori baru yang intinya mengatakan: “Walaupun dalam Qur’an terdapat beberapa ayat yang menerangkan keuniversalan Nabi Suci Muhammad, tapi ini pengertian kuno yang diterangkan kemudian. Memang benar bahwa dalam Qur’an ada beberapa uraian yang agaknya mencakup lapangan yang luas. Kami telah melihat contoh tentang ini dalam ayat: “Katakanlah: Wahai manusia, sesungguhnya aku Utusan Allah kepada kamu semua”. Tetapi agaknya tak ada satu pun dari ayat-ayat ini yang diwahyukan sesudah Hijrah” (hal 7). Orang tak dapat mengerti, di manakah kekuatan alasan yang diberikan dalam kalimat tersebut. Jika persoalannya sudah jelas, maka tak ada bedanya, apakah persoalan itu diterangkan di Makkah ataupun di Madinah. Sebenarnya, baik wahyu Makkiyah maupun wahyu Madaniyah, dua-duanya sama terangnya tentang keuniversalan Nabi Suci Muhammad saw. 5. Karena agama Kristen didasarkan atas dugaan bahwa Yesus Kristus putera Allah, dan karena dia tak berdosa, dapat menebus dosa umat manusia, maka para penulis Kristen bersusah payah mencari bantuan Qur’an guna mengistimewakan Yesus Kristus sebagai orang tak berdosa, sedang kitab Injil sendiri memberi pukulan keras terhadap kesucian Yesus dari dosa, tatkala beliau menjawab dengan kata-kata yang terang kepada orang yang menyebut beliau “Guru yang baik”: “Apakah sebabnya engkau katakan Aku ini baik? Seorang pun tiada yang baik, hanya Satu, yaitu Allah” (Matius 19:17; Markus 10:18). Dalam Qur’an Suci, semua Nabi diperlakukan sebagai satu keluarga. Alasan yang dikemukakan oleh kaum Kristen bahwa karena Nabi ‘Isa dikatakan oleh Qur’an sebagai: “Orang yang terhormat dan orang yang terdekat kepada Allah”, maka Nabi-nabi lain tidak demikian; jika alasan ini diterapkan terhadap Nabi ‘Isa, maka ini akan berarti karena dalam Qur’an Nabi Yahya dikatakan sebagai “orang yang suci dan bertaqwa”, maka Nabi ‘Isa tidak demikian, yakni, tidak suci dan tidak bertaqwa, atau, oleh karena Nabi Ibrahim dikatakan oleh Qur’an sebagai “orang tulus”, maka Nabi ‘Isa tidak demikian, artinya, Nabi ‘Isa tidak tulus. Hendaklah diingat bahwa Qur’an menerangkan Nabi ‘Isa sebagai “orang yang terdekat kepada Allah”, (muqarrabun), tetapi di tempat lain, Qur’an menyebut pula para sahabat Nabi sebagai muqarrabun atau orang yang dekat kepada Allah (5:11). Dalam Qur’an tak ada ayat yang menerangkan bahwa Nabi ‘Isa satu-satunya orang yang tak berdosa; demikian pula adanya kenyataan bahwa Nabi ‘Isa disebut kalimatuhu (firman-Nya), dan ruhu minhu (ruh dari Dia), ini tak sekali-kali menetapkan bahwa beliau manusia luar biasa, karena dalam Qur’an dinyatakan berulangkali dengan kata-kata yang terang: “Sesungguhnya gambaran ‘Isa menurut Allah seperti gambaran Adam (3:58); “Masih bin Maryam hanyalah seorang Utsan, sungguh telah berlalu para utusan sebelum dia, ibunya adalah perempuan tulus; mereka berdua makan makanan” (5:75). Dan jika Nabi ‘Isa disebut firman Allah, ini hanya berarti ia itu makhluk seperti manusia lainnya, karena, semua makhluk disebut firman Allah: “Sekiranya lautan itu tinta untuk menulis firman-Ku, niscaya lautan itu akan habis sebelum firman Tuhanku habis, walaupun itu Kami tambahkan sebanyak itu lagi”. (18:109). Jadi Nabi ‘Isa hanyalah satu di antara firman Tuhan yang tak terhitung banyaknya. Demikian pula ia disebut ruh dari Allah, bukan ruh Allah, seperti sangkaan para penulis Kristen: “Wahai kaum Ahli Kitab janganlah kamu melebihi batas dalam agama kamu, dan jangan pula berbicara tentang Allah, selain yang benar. Almasih ‘Isa bin Maryam hanya Utusan Allah dan firmannya yang ia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari Dia” (4:171). Kata ruh dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai karunia. Rauh dan ruh dua-duanya artinya ialah karunia Allah menurut Az. (Lihat LL, dibawah rauh). Ruh juga berarti inspirasi atau wahyu Ilahi (T., LL.). Ayat tersebut berarti bahwa kedatangan Yesus sesuai dengan ramalan dan inspirasi Ilahi. Bahkan jika kata jiwa kita artikan dengan ruh, itu tidak menjadikan Yesus Kristus selangkah di belakang batas-batas lahiriyah, karena Adam pun dikatakan begitu, Aku tiupkan ruh-Ku kepadanya (15:29).Sebenarnya, tiap-tiap orang dikatakan mempunyai sebagian roh Tuhan yang ditiupkan kepadanya: “Lalu Ia membuat keturunannya dari sari air yang hina. Lalu Ia menyempurnakanya dan meniupkan di dalamnya sebagian ruh-Nya”. (32:8-9). Jadi tiap-tiap orang adalah roh dari Allah; malahan manusia lebih dari itu; karena tiap-tiap manusia disebut khalifah (wakil Allah) (2:30). Kadang-kadang untuk memperkuat teori bahwa Yesus satu-satunya orang yang tak berdosa, dikutip Hadits sebagai berikut: “Tiada seorang bayi dilahirkan melainkan pada waktu dilahirkan ia disentuh oleh setan, maka dari itu ia berteriak minta tolong karena disentuh setan, terkecuali Siti Maryam dan puteranya” (Bu. 60:44). Hadits yang mirip dengan ini, menceritakan Nabi Yahya: “Tak ada seorang pun melainkan akan bertemu dengan Allah dalam keadaan dosa, kecuali Yahya” (IK). Nah, Hadits ini bertentangan satu sama lain; karena menurut Hadits pertama, tiap-tiap orang pada waktu lahir disentuh oleh setan (termasuk pula Nabi Yahya); sedang menurut Hadits kedua, semua orang dalam keadaan dosa termasuk pula Siti Maryam dan Nabi ‘Isa, terkecuali Nabi Yahya. Oleh karena itu, tak perlu dipersoalkan lagi jika Hadits tersebut diartikan secara harfiah. Sebenarnya, disebutnya Siti Maryam dan puteranya dalam Hadits pertama, dan Nabi Yahya dalam Hadits kedua, ini untuk menggambarkan manusia yang tulus. Qur’an Suci itu sendiri menerangkan bahwa Maryam adalah lambang orang mukmin: “Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman: isteri Firaun … dan Maryam binti Imran yang menjaga kesuciannya, maka Kami tiupkan di dalamnya sebagian ruh Kami, dan ia membenarkan firman Tuhannya dan kitab-kitab-Nya, dan ia adalah orang yang patuh” (66:11-12). Orang mukmin yang belum bebas dari perbudakan dosa, diibaratkan isteri Firaun; Firaun adalah ibarat penjelmaan perbuatan dosa; adapun orang mukmin yang bebas dari perbudakan dosa, itu diibaratkan siti Maryam yang menjaga kesuciannya, dan membenarkan firman Allah. Oleh karena itu, menurut Quran Suci, Siti Maryam gambaran orang yang setan tak dapat menyesatkannya, atau, yang menurut uraian Hadits, setan tak dapat menyentuhnya; sedang puteranya digambarkan dalam ayat itu sebagai orang yang “ditiupkan sebagian Ruh Kami”. Oleh karena itu, yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah, bahwa dua jenis manusia semacam itu, tak dapat digoda atau disentuh oleh setan; di antara mereka terdapat orang yang bukan Nabi, seperti misalnya Ssiti Maryam yang menjaga kesuciannya dan orang yang patuh; dan ada pula Nabi, seperti misalnya Nabi ‘Isa, yang menerima wahyu Ilahi. Dalam Hadits kedua, dua jenis manusia itu disebut Yahya, makna aslinya Hidup, artinya, orang yang rohaninya hidup. Selain golongan manusia jenis itu disebut orang yang disentuh setan, artinya, kadang-kadang setan menyesatkan mereka, tetapi oleh karena mereka beriman kepada Allah, maka mereka berteriak minta tolong; inilah arti kata sharikh (berteriak) dalam Hadits itu. Adapun yang dimaksud “pada waktu lahir” dalam Hadits tersebut ialah “kelahiran rohani”; yang mula-mula ditandai dengan perjuangan melawan kejahatan, atau melawan godaan setan, yang berjuang itu digambarkan dalam Hadits itu sebagai orang yang berteriak kepada Allah untuk memohon pertolongan melawan godaan setan. Oleh sebab itu, dua Hadits tersebut harus diartikan secara kalam ibarat, karena jika diartikan secara harfiah, pasti akan berlawanan satu sama lain; bukan itu saja, melainkan berlawanan pula dengan semua prinsip agama; jika demikian, maka Hadits itu harus ditolak. 6. Keliru sekali pengertian para ulama Kristen tentang tujuan terutusnya para Nabi. Mereka mengira bahwa satu-satunya tujuan manusia di dunia ini ialah keselamatan dari dosa, dan mereka mengira bahwa ini adalah derajat rohani yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh manusia. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa para Nabi hanya diutus untuk keperluan ini. Sebaliknya, Qur’an mengandung kesucian kodrat (fitrah) sebagai titik tolak kemajuan rohani manusia. Qur’an mengajarkan bahwa manusia harus melawan godaan setan, tetapi ini hanyalah langkah permulaan bagi perkembangan daya kemampuan pemberian Allah, dan kemajuan manusia tak ada batasnya, bahkan setelah meninggal pun kemajuan itu terus dilanjutkan di akhirat. 7. Dalam buku The faith of Islam, tuan Sell menulis: ” Ulama salaf orthodoks percaya bahwa para Nabi itu tak berdosa” (halaman 299), dan beliau menerangkan lebih lanjut bahwa “ini bertentangan dengan fakta yang sebenarnya”. Dalam buku The Religion of Islam, tuan Klein membenarkan bahwa menurut ajaran Islam, seorang Nabi harus memiliki ketulusan (shiddiq), dapat dipercaya (amanah) dan sebagainya, dan mustahil sekali seorang Nabi mempunyai sifat yang bertentangan dengan ini, seperti misalnya tidak tulus, tak dapat dipercaya, suka bohong, tak berakal sehat, bebal, dan menyembunyikan amanat” (hal 73,74); tetapi di samping itu, tuan Klein menulis: “ada pertentangan antara ajaran Qur’an dengan ajaran ulama”. Sebenarnya, yang menyebabkan kaum Kristen berputar-putar ialah, ajaran Kristen tentang Penebusan Dosa. Oleh karena amat diperlukan adanya “Putera Allah” untuk menebus dosa, maka semua Nabi yang diutus untuk memperbaiki manusia, harus berdosa. Jika para Nabi selain Nabi ‘Isa, tak berdosa, maka dunia tak memerlukan adanya “Putera Allah”. Walaupun Kitab Bebel sendiri mengalami banyak perobahan, namun di dalamnya terdapat ayat yang membuktikan tak berdosanya para Nabi. Tentang Nabi Nuh, Bebel menerangkan bahwa beliau adalah “orang yang benar dan tulus hati di antara orang sezamannya” (Kitab Kejadian 6:9). Kepada Nabi Ibrahim, Tuhan berfirman: “Maka hendaklah kamu berjalan di hadapan hadiratku dan hendaklah tulus hatimu” (Kitab Kejadian 17:1). Kepada Nabi Musa Dia berfirman: “Maka hendaklah kamu bersangkut-paut dengan Tuhan Allah-mu dengan tiada bercabang hatimu” (Kitab Ulangan 18:13). Nah, tulus hati adalah lebih daripada bebas dari dosa. Kitab Bebel sendiri berfirman: “Berbahagialah segala orang yang jalannya betul dan yang melakukan dirinya setuju dengan hukum Tuhan … yang tiada berbuat jahat, melainkan yang menurut jalan Tuhannya” (Mazmur 119:1-3). Selanjutnya: “Maka firman Allah adalah dalam hatinya, dan jejaknya pun tiada tergelincir” (Mazmur 37:31). Menurut para pengarang Kitab Injil, Zakaria bukanlah seorang Nabi, namun beliau dan isteri dinyatakan sebagai orang yang tak berdosa: ‘Adapun keduanya itu taat kepada Allah, serta menurut segala firman dan hukum-hukum Tuhan dengan tiada tercela” (Lukas 1:6). Dan tentang Yahya, putera Zakaria, kitab Injil menerangkan, bahwa ia “dipenuhi dengan Ruhul-Kudus daripda rahim ibunya” (Lukas 1:15). Sekalipun Kitab Bebel telah menguraikan dengan kata-kata yang terang tentang sucinya para Nabi dari dosa, bahkan pula orang-orang tulus yang bukan Nabi, namun para ulama Kristen tetap menentang, dan menyebut para Nabi berdosa, demi kepentingan orang yang marah-marah kepada orang yang menyebut dia “orang yang baik” (Markus 10:17-18). Oleh karena itu, ajaran bahwa para Nabi tak berdosa, ini didasarkan ajaran Qur’an dan Bebel. 8. Para mufassir yang menerangkan bahwa ayat tersebut belakangan ini diterapkan terhadap malaikat, itu timbul karena mereka tak memperhatikan hubungan ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Memang di tempat lain dalam Qur’an Suci terdapat ayat seperti itu yang diterapkan terhadap malaikat yang berbunyi: “Yang tak mendurhaka kepada Allah atas apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan mereka bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada mereka” (66:6). Akan tetapi mengenai ayat tersebut di atas, hubungan ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya begitu terang, hingga tak diperlukan lagi suatu penjelasan. Ayat tersebut membicarakan para Nabi, lalu membicarakan agama Kristen bahwa Allah memungut putera, yang ajaran ini didasarkan atas teori bahwa para Nabi berbuat dosa; oleh karena itu, oleh ayat tersebut diterangkan dengan kata-kata yang terang bahwa para Nabi tak berdosa. 9. Ghaira muhtadin lima siwailahi minan-nubuwwah. 10. Walaupun kitab Injil mementingkan sekali perihal mukjizat, namun seluruh bukti kekuatan mukjizat ditumbangkan oleh dua fakta yang amat menonjol. Pertama, menurut Injil itu sendiri, musuh Yesus Kristus pun dapat membuat mukjizat seperti beliau. Beliau sendiri berkata: “Dan jikalau Aku ini membuangkan setan dengan pertolongan Baalzebul, dengan pertolongan siapakah anak-anakmu itu dapat membuang dia?” (Matius 12:27; Lukas 11:19). Para murid kaum Farisi juga dapat membuat mukjizat seperti Yesus. Selanjutnya diriwayatkan beliau berkata: “Pada hari itu kelak banyaklah orang yang akan berkata kepadaku: Tuhan, Tuhan, bukanlah dengan nama Tuhan kami mengajar, dan dengan nama Tuhan kami membuang setan, dan dengan nama Tuhan kami mengadakan banyak mukjizat? (Matius 7:22). Bahkan Kristus palsu pun dapat membuat mukjizat seperti Yesus: “Karena beberapa Kristus palsu dan nabi palsu akan terbit, serta mengadakan pekerjaan yang ganjil sekali dan perbuatan yang mengherankan” (Matius 24:24). Dan akhirnya, pada waktu itu terdapat kolam yang dapat menyembuhkan: “Maka di Yerusalem dekat “Pintu Domba” ada suatu kolam, menurut bahasa Ibrani dinamai Baitesda, maka padanya ada lima serambi. Di serambi itu adalah terhantar amat banyak orang sakit, yaitu orang buta dan timpang dan lumpuh, sekaliannya menantikan air kolam itu berkocak. Karena terkadang-kadang turunlah seorang malaikat ke dalam kolam itu serta mengocakkan airnya, maka barangsiapa yang terlebih dahulu turun ke dalam kolam itu, sesudahnya berkocak air kolam itu, ia pun sembuhlah dan barang sesuatu penyakit apa pun yang diidapinya” (Yahya 5:2-4). Jika mukjizat pada waktu itu begitu murah, hingga para murid kaum Farisi, kaum lalim, dan Kristus palsu juga dapat membuat mukjizat seperti “Sang Putera Allah”, dan jika pada waktu itui terdapat kolam ajaib, maka apakah gunanya mukjizat Yesus itu?Masih ada lagi pertimbangan yang membuat mukjizat Yesus menurut kitab Injil tak ada gunanya. Mukjizat seorang Nabi itu sudah tentu diperlukan untuk meyakinkan umatnya, bahwa wahyu yang beliau terima itu benar, dan di belakang beliau berdiri kekuatan yang maha gaib. Oleh karena itu, timbul pertanyaan, yakni jika Yesus membawa mukjizat sebagaimana ditulis dalam kitab Injil, apakah yang dihasilkan oleh mukjizat itu? Sebenarnya, setelah orang menyaksikan mukjizat yang ajaib-ajaib itu, mereka seharusnya mengikuti ajakan Nabi itu dengan sepenuh hati. Tetapi kitab Injil menerangkan kepada kita, bahwa meskipun banyak orang sakit telah disembuhkan, dan walaupun syarat penyembuhan mereka harus menyatakan iman lebih dahulu, namun Yesus tak pernah mempunyai banyak pengikut. Orang yang mengikuti beliau sedikit sekali, barangkali tak lebih dari limaratus orang. Lagi pula para murid beliau tak kelihatan dipengaruhi oleh mukjizat dalam hidup mereka. Di antara duabelas murid yang tergolong pilihan, ada seorang yang mengkhianati beliau, yang seorang lagi mengutuk beliau, sedang sisanya lari semua meninggalkan gurunya dalam keadaan dukacita. Oleh karena itu, sekalipun Yesus membuat mukjizat, namun mukjizat itu tak pernah memenuhi tujuan untuk apa mukjizat itu diberikan. 11. Tak diragukan lagi bahwa Yesus acapkali berbicara dengan perumpamaan, dan banyak sekali menggunakan kata tamsil. Misalnya: “Biarlah orang yang mati mengkuburkan orang yang mati” (Matius 8:22): “Ketikanya (saatnya) akan datang dan sekarang ini ada juga, bahwa segala orang mati akan mendengar suara Anak Allah … karena datang ketikanya (saatnya) apabila sekalian orang yang di dalam kubur akan mendengar suaranya, lalu mereka itu akan keluar” (Yahya 5:25, 29). Rupanya tak diaragukan bahwa kata-kata seperti itu menjadi sumber yang menelorkan keanehan-keanehan: “Maka sekonyong-konyong tirai di dalam Bait Allah carik-lah terbelah dua, dari atas sampai ke bawah; dan bumi pun gempa; dan batu-batu gunung terbelah-belah, dan kubur-kubur pun terbuka, dan beberapa mayat orang suci yang sudah wafat bangkit pula; dan keluar daripada kuburnya, dan kemudian daripada kebangkitan Yesus, masuklah mereka itu ke dalam negeri kudus, lalu kelihatan kepada banyak orang” (Matius 27:51-53). Seorang komentator baru-baru ini menerangkan peristiwa itu: “Ini agaknya gambaran yang membentangkan kebenaran, bahwa dalam kebangkitan Kristus, mengikut sertakan pula kebangkitan semua orang suci-Nya, sehingga dalam arti terbatas dapat dikatakan bahwa semua orang Kristen pada Hari Paskah pertama bangkit bersama Dia” (Pendeta Dummelow, Bible Commentary). 12. Berikut ini kami kutip beberapa ayat Qur’an yang berbunyi: “Apakah kaum kafir kamu lebih baik daripada mereka (Fir’aun dan lain-lainnya), atau adakah kebebasan bagi kamu dalam kitab-kitab suci? Atau apakah mereka berkata: Kami adalah pasukan gabungan yang saling membantu. Pasukan gabungan akan segera digulung dan akan lari tunggang-langgang (54:43-45). “Dan kamu tinggal di tempat orang-orang yang berbuat aniaya terhadap dirinya, dan telah jelas bagi kamu bagaimana kami memperlakukan mereka, dan (bagaimana) kami membuat (mereka) teladan bagi kamu. Dan sesungguhnya mereka telah merencanakan rencana mereka, dan rencana mereka ada pada Allah, walaupun rencana mereka itu demikian rupa hingga gunung-gunung akan digerakkan oleh-Nya. Maka janganlah engkau menyangka bahwa Allah akan menyalahi janji-Nya kepada Utusan-Nya. Sesungguhnya Allah itu Maha perkasa, Yang menguasai pembalasan” (14:45-47). “Sesungguhnya orang-orang kafir, kekayaan mereka dan anak mereka tak menguntungkan mereka sedikit pun untuk melawan Allah … Sama halnya seperti kaumnya Fir’aun dan orang-orang sebelum mereka. Mereka mendustakan ayat-ayat kami, maka Allah membinasakan mereka karena dosa mereka. Dan Allah itu Maha-keras dalam membalas kejahatan. Katakanlah kepada kaum kafir: Kamu akan dikalahkan, dan akan digiring ke Neraka” (3:9-11). “Segera Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda bukti Kami di daerah yang jauh dan di kalangan mereka sendiri, hingga ini menjadi terang bagi mereka bahwa inilah kebenaran” (41:53). “Dan orang-orang kafir berkata kepada utusan mereka: Kami pasti akan mengusir dari bumi kami, kecuali jika kamu kembali kepada kami. Maka Tuhan mereka mewahyukan kepada mereka: Kami pasti akan menghancurkan orang-orang lalim, dan Kami pasti akan menempatkan kamu di bumi sesudah mereka” (14:13-14). “Dan sesungguhnya telah Kami tulis dalam Kitab sesudah peringatan, bahwa hamba Kami yang saleh akan mewaris bumi. Sesungguhnya dalam hal ini berita bagi kaum yang mengabdi kepada (Kami)” (21:105-106). “Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan berbuat baik di antara kamu, bahwa Dia akan membuat mereka sebagai penguasa di bumi sebagaimana Dia telah membuat orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, dan Dia akan menegakkan bagi mereka agama mereka yang Dia pilih untuk mereka, dan Dia akan memberi ketentraman kepada mereka sebagai pengganti ketakutan” (24:55). “Dia ialahYang mengutus Utusan-Nya dengan pimpinan dan agama yang benar, agar Dia memenangkan itu di atas sekalian agama” (61:9; 48:28; 9:33). 13. Terhadap orang yang bertaqwa, Qur’an berfirman: “Mereka memperoleh kabar baik (busyra) di dunia dan di Akhirat” (10:64); dan di tempat lain, Qur’an berfirman: “Malaikat turun kepada mereka ucapnya: Jangan takut dan jangan susah, dan terimalah kabar baik tentang Sorga yang dijanjikan kepada kamu” (41:30). Dalam satu Hadits diuraikan: “Wahyu kenabian tak tersisa lagi, kecuali mubasy-syarat” (Bu. 91:5), dan ini dijelaskan oleh Nabi Suci bahwa mubasysyarat adalah impian yang baik (ru’yah shalihah), dan impian yang baik adalah sebagian dari wahyu kenabian (Bu. 91:4). 14. Menurut ajaran Gereja, manusia harus mengalami penderitaan berupa apa yang disebut Dosa Waris, yaitu dosa yang tidak ia lakukan sendiri, melainkan dilakukan oleh nenek moyangnya pada zaman dahulu. 15. Dalam Encyclopaedia of Islam, artikel syafa’at, terdapat uraian yang mengatakan: “Tetapi hendaklah diingat, Nabi Muhamad semasa beliau masih hidup pun dikatakan memberi syafa’at. Siti Aisyah menceritakan bahwa pada malam hari, Nabi Muhammad acapkali menyelinap dari sisi beliau, dan pergi ke makam Baqi al-Gharqad untuk memohonkan ampun kepada Allah bagi orang yang sudah mati … Begitu pula istighfar beliau diucapkan pula pada waktu shalat janazah … dan dijelaskan kemanjurannya … Do’a pengampunan bagi orang berdosa lalu menjadi bsgian yang tak terpisahkan dari shalat janazah ini … dan dianggap penting sekali. 16. takala Allah berfirman: Wahai ‘Isa, Aku akan mematikan engkau dan meninggikan engkau di hadapan-Ku, dan membersihkan engkau dari orang-orang kafir, dan membuat orang-orang yang mengikuti engkau di atas orang-orang kafir sampai Hari Kiamat” (3:54).”Dan tatkala Allah berfirman: Wahai ‘Isa putera Maryam, apakah engkau berkata kepada manusia: Ambillah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah? Dia menjawab: … Aku tak berkata apa-apa kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku, yaitu: Mengabdilah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu; dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka, tetapi setelah Engkau mematikan aku, Engkaulah Yang mengawasi mereka. Dan Engkau Yang Maha-menyaksikan segala sesuatu” (5:116-117).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar