Jumat, 21 Agustus 2015

Islam memberikan sebuah konsep kesetaraan semua manusia.Tidak ada kelebihan satu suku atas suku lainnya atau satu bangsa atas bangsa lainnya kecuali hanya dalam hal ketaqwaan.Inilah ajaran yang sangat menentramkan hati,karena sebab sebab kelahiran adalah taqdir yang Tuhan sendiri menetukannya,saya mau lahir di indonesia atau negara lainnya bukan termasuk dalam kuasa saya,sedangkan kalau dalam ketaqwaan merupakan hasil usaha kita selaku manusia. bangsa yahudi telah keliru memahami masalah ini. Merasa bangga dengan ras mereka ,memang secara fisik dan kecerdasan mereka amat luar biasa,sudah ganteng pintar lagi.Tapi ini pula lah yang menyebabkan kejatuhan mereka,merasa sombong dan merendahkan bangsa yang lain. Umat islam jangan sampai bersikap seperti mereka,walaupun kita keturunan nabi muhammad sekali pun,kalau taqwa tidak dimiliki maka tiada lah arti hubungan darah jasmani.Dizaman nabi muhammad anak keturunan beliau disamping memilki hubungan darah secara jasmani mereka juga unggul dalam hal ketaqwaan.Pantas lah nabi bersabda jangan sampai menyakiti ahlul baitku.Seiring dengan berjalan nya waktu dimana jarak antara kita dengan nabi sudah ribuan tahun.Apakah keturunan nabi tersebut masih dalam ruang lingkup taqwa sejati??? Jika benar kita pun harus mencintai mereka,jika berseberangan dengan ketaqwaan mungkin tidak lah kita harus terlalu fanatik sehingga menghilangkan aqal sehat. Hormatilah semua orang tanpa memandang simbol simbol lahiriah,jika ada kesalahan tugas kita adalah meluruskan bukan menghina dan mencaci maki.
CARA MEMAHAMI KHABAR GAIB PARA NABI TENTANG ORANG YANG DIJANJIKAN... Para nabi biasanya menjanjikan orang yang akan datang sesudahnya dengan bahasa yang samar,baik tentang profil pribadinya maupun tanda tanda zaman kedatangan nya.Terang nya sebuah kabar gaib tersebut atau bisa di pahami adalah di masa orang yang dijanjikan tersebut hadir ditengah tengah kita,karena dia lah yang akan menjelaskan dan menafsirkan dengan sempurna apa maksud dari perkataan nabi yang sebelumnya.Yang menjadi kendala biasanya sebelum kedatangan orang yang dijanjikan telah beredar tafsir tafsir yang berbeda tentang wujud yang dijanjikan tersebut.Inilah yang membuat kabar tersebut menjadi tumpang tindih,dan sewaktu orang nya hadir kita pun meragukan kebenarannya. contoh : sebelum kedatangan yesus atau nabi isa kedunia para nabi telah mengabarkannya,setelah orang nya datang para ahli taurat meragukan karena tidak cocok dengan tafsir yang ada,padahal kalau mau mendengarkan penafsiran dari wujud yang hadir tersebut maka semua kabar tersebut cocok dan pas.Itulah yang menyebabkan kenapa sampai saat ini bangsa yahudi tidak bisa lagi menerima nabi isa walaupun usia nya sudah 2000 tahun lebih. Kasus kasus seperti inilah yang akan terulang kembali disetiap zaman,seperti tentang kedatangan nabi muhammad dan kedatangan nabi isa yang kedua kali. Umat islam harus jeli dan teliti memahami ini,sejarah telah menjadi saksi,apakah kita akan terjerumus kedalam lobang yang sama? Untuk memahami wujud orang yang dijanjikan ini,lihatlah tanda tanda zaman yang telah dijelaskan oleh nabi nabi sebelumnya.Jika tanda itu telah tampak berarti orang nya telah ada.Seiring dengan kehadiran nya maka yang imitasi pun bermunculan serta semuanya akan ditentang oleh umat manusia untuk menguji kebenarannya.Yang jelas imitasi tidak kan teruji sedangkan emas murni tentu tahan api.Seberapa kuat nya orang memusuhi pohon kebenaran tidak akan pernah tumbang bahkan akan berbuah manis,lebat dan menaungi orang yang berteduh dibawahnya. Yang asli pasti memperkenalkan diri karena dia untuk di imani , bukan berarti ini sebuah kesombongan ,kalau dia tak mengaku siapa pula yang tau.Yang asli tak akan pernah memaksa apalagi menzalimi manusia yang menolaknya.Dia hanya unggul dengan nafas kesucian yang bisa membunuh keburukan dengan sekali tiupan. selamat berfikir. salam damai.
Yang dikehendaki Tuhan tentu lah bersatu...berkasih sayang...saling mencintai walaupun perbedaan adalah sebuah keniscayaan...Tuhan tidak pernah melakukan pemaksaan dalam memilih agama dan berkeyakinan...semua dikembalikan kepada rahmat dan kecerdasan...semoga semua kita mengerti apa yang diinginkan Tuhan... Sewaktu jarak masih merupakan sebuah kendala...Maka Tuhan memilih utusan Nya...dari tiap2 bangsa...Untuk menyelamatkan kaum nya dari dosa...serta menunjukkan jalan serta tujuan hidupnya... Tatkala jarak bukan lagi kendala...bumi seperti sebuah keluarga besar...gesekan antar golongan dan kepentingan...kemajuan teknologi. .sains dan persenjataan...sudah pasti bumi di ambang kehancuran...Untuk menyelamatkan manusia dan peradaban...maka Tuhan berusaha untuk menyatukan...lihatlah dengan seksama...masing2 nabi dari agama didunia mengatakan akan turun kembali kedunia...disaat kritis dan genting...dengan tanda2 zaman yang sama... Dalam islam Muhammad akan turun dalam wujud almahdi...kristen pun meyakini isa turun kembali...hindu pun seperti itu kresna kan datang kembali...budha juga begitu...konghucu juga sama...bahkan di Jawa dalam ramalan jaya baya ratu adil namanya... Coba dibayangkan ...cara Tuhan dalam membuat rencana..amat sempurna...mudah dibaca...semuanya hadir kembali dalam masa yang sama...mungkin masing2 kita telah menebak dan mereka reka...berharap dan menunggu zaman keemasan tiba...kerajaan Tuhan hadir di dunia...tapi apakah kedatangannya sesuai dengan apa yang kita sangka...atau bisa jadi berbeda...mari kita serahkan semua nya kepada Tuhan...Bagaimana wujud bentuk dari ini berita... Pertajam lah indra batin...terimalah keputusan Tuhan...walaupun merugikan apa yang kita telah usahakan...yang jelas kita harus ikhlas dan legowo menerima keputusan Tuhan... Tunggu lah...nantilah dengan benar...Tuhan itu satu...dengan nama yang berbeda..Begitu juga agama disisi Tuhan juga satu...nabi adalah anak2 dalam kerajaan Tuhan... Kalau dia datang..pasti dia akan memperkenalkan diri...apakah lima...enam atau satu menyandang enam nama... Tujuannya hanya satu...mengajak manusia kembali kepada Tuhan yang sebenarnya ....tapi tidak ada paksaan..perang dalam menyampaikan pesan Tuhan.

Kamis, 20 Agustus 2015

KONSEP KENABIAN

KONSEP KENABIAN Rangkaian para nabi yang benar tidaklah saling menodai,,,misalnya ada nabi musa,,dilanjutkan oleh nabi isa,,,kemudian nabi muhammad kemudian akan turun lagi nabi isa,,,mereka semua bersaudara,,,saling memberitakan kedatangannya dan saling membenarkan,,,ibaratnya seorang raja didalam kerajaan atau seorang presiden dalam negara,,,dan yang pasti seorang raja rohani dalam kerajaan Tuhan,,,ambillah contoh negara indonesia,,,negara tetap satu,,,pimpinan silih berganti dari bung karno sampai jokowi,,,walaupun undang undang ada yang di amandemen sesuai dengan kebutuhan rakyat dan tuntutan zaman,,, umat dan pengikut para nabi lah yang tidak mengerti dan paham akan maksud ini membuat keadaan menjadi kacau,,,Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia,,,tidak pernah memaksakan kebenaran yang diturunkanNya untuk selalu diterima,,,Tuhan selalu mengajak manusia untuk berfikir dan mengkaji dengan seksama serta hati yang dihiasi dengan taqwa,,,yang penting jangan memusuhi utusan Nya,,,walaupun kita tidak percaya,,,biarkan saja ada yang mengaku nabi,,,kan tak ada perintah didalam kitab suci harus diperangi,,,biarkan saja lah,,jika dia palsu nanti akan hancur sendiri seperti garam kena air,,,kalau dia asli Tuhan akan memeliharanya walaupun dunia memusuhi. umat islam harus berhati hati dengan ini,,,karena didalam islam ada satu lagi janji Tuhan akan menurunkan nabi isa sebagai hakaman 'adalan,,,jangan alergi dengan kata kata nabi,,,jangan pernah memusuhi orang yang mengaku nabi isa,,,pelajari dengan seksama,,, Tuhan akan menegakkan agama ini melalui nabi isa,,,dan apa yang terjadi terhadap para nabi masa lalu seperti penentangan akan terulang kembali,,,sebagai bentuk ujian apakah dia benar benar asli,,,dari mana kita tau asli,,,lihatlah dari wajahnya yang tidak pernah berdusta sebelum mendakwakan diri,,,dari seruannya kepada tauhid ilahi,,,dari rahasia kitab suci yang di bukakan nya,,,dari kesabaran yang ditunjukkan nya,,dari simpati yang diraihnya dari hari kehari,,,dari fitnah yang ditimpakan kepada dia dan pengikutnya,,inilah ciri ciri barang asli,,jangan sampai tertipu lagi,,inilah bentuk pemeliharaan Tuhan terhadap kitab suci,,,inna nahnu nazzalna zikro wainna lahu lahafizun,,inilah rahasia kenapa umat islam diajarkan untuk mengimani semua nabi,,,dari yang awal sampai yang datang sesudah nabi muhammmad,,,la nufarriqu baina ahadimmirrusulih,,,dia hanya mengajak kembali kepada kitab suci dan memperbaharui iman walaupun selama ini masing masing kita telah beriman,,,,ya ayyuhallazina amanu aminu billahi warosulihi,,,, nabi isa yang turun sesudah nabi muhammad pangkat nya tetap nabi,,,nabi ini di istilahkan nabi zilli atau bayangan,,,atau nabi ummati atau pengikut,,,bukan nabi yang berdiri sendiri,,,tidak merusak pangkat nabi sebagai khotamun nabiyyin,,dan nabi terakhir,,tapi karena ketaatannya kepada ajaran yang yang dibawa nabi muhammad maka dia dipilih untuk memperbaiki kondisi,,, saran ,,jangan lah memusuhi jika ada yang mengaku nabi isa telah turun,,,masalah dia asli atau bukan silahkan di uji dan silahkna istikhorah dua rakaat dengan hati yang suci,,,jika menurut kita bukan asli silahkan jadi penonton,,lihatlah akhir dari semua ini,,,jangan masuk ke barisan para penentang naati amal dan iman jadi sia sia,,,atau kecintaan kita terhadap tuhan ,,,nabi dan agama ini menjadi terdakwa didepan mahkamah ilahi.
WEJANGAN SYECH SITI JENAR Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar) 1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.” Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.” Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti. 2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.” Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin. Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA. 3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.” Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak kekal. Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta. Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah. Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah. 4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil "Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)", yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil"Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)", maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi", yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.” Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan. 5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah. Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.” Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati. Semoga yg ini bermanfaat dalam kepasrahan yg tidak bisa dipikir dgn Akal tapi dengan Hati yang sulit mengungkapkan rasa Cinta itu secara Tulus.... Walaupun rasa Cinta itu sulit diungkapkan dgn bahasa kita yg sangat terbatas ini.....amin....amin SURGA DAN NERAKA Syekh Siti Jenar “anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini). Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa. Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia. Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir……… PUASA dan HAJI Syekh Siti Jenar “Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.” “Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.” Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.” Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb. Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia. Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya. Makna Ihsan “Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.” “Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”. Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si ‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran. Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi. Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal. “Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.” Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”). Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan syari’at Islam. Pribadi adalah pancara roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi. Tafsir Kisah Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar) “Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat).” “Sedangkan kawanan udang adalah perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.” “Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).” “Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air (dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya, ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg tak bisa dilihatnya.” “Sementara itu, seandainya sang ikan di dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa dilihatnya.” “Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka (al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka (al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS, pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab ghaib.” “Adapun bekal makanan yg berupa ikan adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.” “Andaikata saat itu Nabi Musa AS memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali. Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.” “Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar dari Sang Pengetahuan (al-Alim).” “Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan (ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya, barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang (ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran (al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki (as –Rasyid).” “Demikianlah, saat sang salik melihat Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna (bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati masih akan berlanjut.” Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang. Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran. Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.” “Setelah berada di wilayah perbatasan, Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.” “Setelah penumpang perahu mengenal air yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi, dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud. Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain, yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha Indah (al Jamal).” “Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana (syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.” “Sebab, wahana adalah kendaraan bagi manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.” “Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql) melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara (thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia (walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya, di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap limpahan rahmat dan hidayah-NYA.” “Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.” “Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya, keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan rohani tidak terganggu.” “Sesungguhnya, di dalam perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad).” “Sesungguhnya, keakuan kerdil yg kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya, perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).” “Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.” “Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS, yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani (roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).” “Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82) menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).” “Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu. Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).” “Sehingga tidak akan pernah terjadi perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’ Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan. Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman pribadi.” Sasahidan Syekh Siti Jenar Tentang Allah, Tauhid, dan Manunggaling Kawula-Gusti 1.“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang?… Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII). Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan. Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan disana atau disitu, ettapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.” Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) [bagian XLIV]. Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8. 2.“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103). Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti. 3.“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124) Maksud bebas ungkapan tersebut adalah “tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”. 4.“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1). Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia. 5.“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22). 6.“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20). 7.“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46). Ungkapan no. 5, 6, dan 7... Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya. 8.“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13). Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan. Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar. 9. “Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48). Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan. Kesejatian Hidup dan Kehidupan 10.“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5). Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”. 11.“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32). Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci. Tuhan dan Kemanusiaan 12.“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab\jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44). Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya. 13."Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa." (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30). Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru” dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah. 14.“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.” “Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.” “Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.” “Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36). Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib

Sabtu, 15 Agustus 2015

bhineka ala indoneia

kebinekaan sebuah keniscayaan Bhineka tunggal ika berarti berbeda-beda tetapi tetap satu". Apakah itu hanya kata kiasan untuk Pancasila lambang negara kita saja. Dapat kita lihat perbedaan ras cukup mencolok di Indonesia ini. Apakah bhineka tunggal ika hanya sebuah kata-kata tanpa arti? Kebhinekaan merupakan realitas bangsa yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Untuk mendorong terciptanya perdamaian dalam kehidupan Bangsa dan Negara. Kebhinekaan pun harus dimaknai masyarakat melalui pemahaman multikulturalisme dengan berlandaskan kekuatan spiritualitas. Dalam kondisi yang berbeda–beda, justru kebudayaan nusantara-lah yang bisaa mempersatukan bangsa seperti gado–gado, semua sayur tetap dengan bentuknya masing – masing. "Yang mempersatukan adalah bumbu kacang" . Tidak seperti FRUIT PUNCH, yaitu mencampur semua buah untk dijadikan minuman bar. Namun tanpa spiritualitas, masyarakat akan sulit menerima dan saling memahami perbedaan yang ditemuinya. Agama juga harus mendasari politik, agar politik benar–benar mampu mencapai tujuan sucinya untuk kemaslahatan rakyat banyak. "Namun, institusi agama harus dipisahkan dari politik agar tidak terjadi politisasi terhadap agama" . "Multikulturalisme yang sudah ada sejak dahulu masih masih sebatas realitas sosial dan belum menjadi ideologi. Hubungan antarkelompok masih terjadi saling hegemoni. Ketika multikultural sudah menjadi ideologi. Pola hubungannya pun semestinya bukan invasi lagi melainkan sudah memasuki era konvergensi". Ketika bertrasformasi, masyarakat tidak hanya sekedar tinggal bersama ( co-eksistence), tetapi juga salng memberdayakan (pro-eksistensi). Ayat–ayat suci yang dijadikan dasar-dasar spiritualitas dalam bertransformasi pun hendaknya tak hanya dibaca melalalui kitab suci semata. Namun bisa ditemukan dalam sejarah dan kehidupan sehari–hari. Kejadian Poso, Bom Bali, dan deretan kejadian lain menunjukkan terkikisnya rasa akan adanya keberagaman Indonesia. Padahal seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia tidak pernah memberikan ruang sedikitpun untuk terjadinya kekerasan. Perbedaan etnis, religi maupun ideologi menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika dan toleransi yang menjadi perekat untuk bersatu dalam kemajemukan bangsa. Perasaan prihatin atas terkikisnya penghargaan terhadap kebhinekaan dan kedamaian bangsa, yang muncul dalam bentuk disintegrasi dan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan apa pun. Disadari bahwa kebangkrutan kebangsaan seperti ini akan menyuburkan perasaan saling curiga dan berprasangka sesama saudara. Kondisi ini akan menjadikan bangsa Indonesia semakin rapuh dan menghilangkan semangat kebersamaan untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang. Atas dasar keyakinan bahwa secara bersama kita dapat membangun Indonesia yang lebih baik, maka kami meminta kepada aparat negara untuk melakukan tindakan tegas kepada pelaku tindak kekerasan atas nama apapun. Menghimbau kepada kelompok yang melakukan kekerasan untuk kembali kepada koridor Pancasila dan UUD 1945. Mengajak seluruh elemen masyarakat dan negara untuk : a. Menghormati hak asasi manusia sesuai dengan UUD 1945; b. Menjunjung tinggi harkat dan martabat semua anak bangsa Indonesia; c. Mengakui persamaan hak-hak semua kelompok, agama, ras dan etnis dalam segala tatanan kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan; d. Menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat sebagai kemajemukan yang semakin memperkaya khasanah kehidupan berbangsa dan bernegara; e. Mendorong terwujudnya kedamaian dalam perbedaan; f. Memajukan kerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk mewujudkan kehidupan yang humanis di segala bidang; g. Tidak melakukan kekerasan dan penindasan dalam bentuk apapun, kepada siapapun, dan atas nama apapun. Argumen akan pemikiran persuasif menyatakan bahwa Indonesia yang kepulauan dari segi geografis, beragam dalam peradaban, dan heterogen dalam kebudayaan, akan maju kalau menerima serta menganggap perbedaan sebagai modal, dan akan terpecah belah kalau mengingkari dan menyembunyikan perbedaan itu (Geertz, 1971). Meski sudah 52 tahun merdeka, rakyat Indonesia belum memahami arti kebhinnekaan sesungguhnya. "Ironisnya, bangsa ini masih belum mau mengakui kelemahan ini," kata Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada wartawan usai tampil sebagai pembicara dalam Seminar Nasional "Sistem Kepartaian dan Masa Depan Ke-Indonesiaan". Akibat kurangnya pemahaman itu, menurutnya, dalam hidup bermasyarakat, rakyat Indonesia tergagap-gagap menghadapi perbedaan. Masyarakat belum hidup dalam pluralisme sejati dimana dalam masyarakat yang plural, seseorang tidak lagi mempertanyakan agama, suku dan bahasa. "Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu ada di masyarakat. Artinya, masyarakat kita masih belum pluralis dan belum bisa menerima pluralisme sebagai pemikirannya," Filosofi Bhinneka Tunggal Ika, lanjutnya, seharusnya jangan hanya menjadi slogan belaka. Tetapi, harus menjadi strategi untuk membentuk negara yang plural. "Di satu sisi kita diajarkan dengan semangat Sumpah Pemuda yang sarat dengan nilai-nilai pluralisme. Pada sisi lain, kita juga dicekoki dengan nilai-nilai Sumpah Palapa yang ekspansif itu," jelasnya.Sebenarnya, tambah alumnus FH Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, untuk menuju masyarakat yang pluralis, bisa dilakukan dengan cara sederhana meski tak mudah dilakukan. Misalnya, seperti dicontohkan Sultan, yang mayoritas tidak memaksakan diri menentukan suatu kebijakan menurut kacamata yang mayoritas. Sebaliknya, mayoritas harus bisa mengayomi yang minoritas. "Itulah pluralitas. Semisal, jangan karena merasa orang Jawa itu mayoritas, maka kebijakan disusun dalam perspektif orang Jawa saja dan mengabaikan kepentingan masyarakat lain yang minoritas, seperti orang Papua,"