Sabtu, 15 Agustus 2015

bhineka ala indoneia

kebinekaan sebuah keniscayaan Bhineka tunggal ika berarti berbeda-beda tetapi tetap satu". Apakah itu hanya kata kiasan untuk Pancasila lambang negara kita saja. Dapat kita lihat perbedaan ras cukup mencolok di Indonesia ini. Apakah bhineka tunggal ika hanya sebuah kata-kata tanpa arti? Kebhinekaan merupakan realitas bangsa yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Untuk mendorong terciptanya perdamaian dalam kehidupan Bangsa dan Negara. Kebhinekaan pun harus dimaknai masyarakat melalui pemahaman multikulturalisme dengan berlandaskan kekuatan spiritualitas. Dalam kondisi yang berbeda–beda, justru kebudayaan nusantara-lah yang bisaa mempersatukan bangsa seperti gado–gado, semua sayur tetap dengan bentuknya masing – masing. "Yang mempersatukan adalah bumbu kacang" . Tidak seperti FRUIT PUNCH, yaitu mencampur semua buah untk dijadikan minuman bar. Namun tanpa spiritualitas, masyarakat akan sulit menerima dan saling memahami perbedaan yang ditemuinya. Agama juga harus mendasari politik, agar politik benar–benar mampu mencapai tujuan sucinya untuk kemaslahatan rakyat banyak. "Namun, institusi agama harus dipisahkan dari politik agar tidak terjadi politisasi terhadap agama" . "Multikulturalisme yang sudah ada sejak dahulu masih masih sebatas realitas sosial dan belum menjadi ideologi. Hubungan antarkelompok masih terjadi saling hegemoni. Ketika multikultural sudah menjadi ideologi. Pola hubungannya pun semestinya bukan invasi lagi melainkan sudah memasuki era konvergensi". Ketika bertrasformasi, masyarakat tidak hanya sekedar tinggal bersama ( co-eksistence), tetapi juga salng memberdayakan (pro-eksistensi). Ayat–ayat suci yang dijadikan dasar-dasar spiritualitas dalam bertransformasi pun hendaknya tak hanya dibaca melalalui kitab suci semata. Namun bisa ditemukan dalam sejarah dan kehidupan sehari–hari. Kejadian Poso, Bom Bali, dan deretan kejadian lain menunjukkan terkikisnya rasa akan adanya keberagaman Indonesia. Padahal seluruh agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia tidak pernah memberikan ruang sedikitpun untuk terjadinya kekerasan. Perbedaan etnis, religi maupun ideologi menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah bangsa Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika dan toleransi yang menjadi perekat untuk bersatu dalam kemajemukan bangsa. Perasaan prihatin atas terkikisnya penghargaan terhadap kebhinekaan dan kedamaian bangsa, yang muncul dalam bentuk disintegrasi dan segala bentuk kekerasan yang mengatasnamakan apa pun. Disadari bahwa kebangkrutan kebangsaan seperti ini akan menyuburkan perasaan saling curiga dan berprasangka sesama saudara. Kondisi ini akan menjadikan bangsa Indonesia semakin rapuh dan menghilangkan semangat kebersamaan untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik di masa mendatang. Atas dasar keyakinan bahwa secara bersama kita dapat membangun Indonesia yang lebih baik, maka kami meminta kepada aparat negara untuk melakukan tindakan tegas kepada pelaku tindak kekerasan atas nama apapun. Menghimbau kepada kelompok yang melakukan kekerasan untuk kembali kepada koridor Pancasila dan UUD 1945. Mengajak seluruh elemen masyarakat dan negara untuk : a. Menghormati hak asasi manusia sesuai dengan UUD 1945; b. Menjunjung tinggi harkat dan martabat semua anak bangsa Indonesia; c. Mengakui persamaan hak-hak semua kelompok, agama, ras dan etnis dalam segala tatanan kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan; d. Menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat sebagai kemajemukan yang semakin memperkaya khasanah kehidupan berbangsa dan bernegara; e. Mendorong terwujudnya kedamaian dalam perbedaan; f. Memajukan kerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk mewujudkan kehidupan yang humanis di segala bidang; g. Tidak melakukan kekerasan dan penindasan dalam bentuk apapun, kepada siapapun, dan atas nama apapun. Argumen akan pemikiran persuasif menyatakan bahwa Indonesia yang kepulauan dari segi geografis, beragam dalam peradaban, dan heterogen dalam kebudayaan, akan maju kalau menerima serta menganggap perbedaan sebagai modal, dan akan terpecah belah kalau mengingkari dan menyembunyikan perbedaan itu (Geertz, 1971). Meski sudah 52 tahun merdeka, rakyat Indonesia belum memahami arti kebhinnekaan sesungguhnya. "Ironisnya, bangsa ini masih belum mau mengakui kelemahan ini," kata Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada wartawan usai tampil sebagai pembicara dalam Seminar Nasional "Sistem Kepartaian dan Masa Depan Ke-Indonesiaan". Akibat kurangnya pemahaman itu, menurutnya, dalam hidup bermasyarakat, rakyat Indonesia tergagap-gagap menghadapi perbedaan. Masyarakat belum hidup dalam pluralisme sejati dimana dalam masyarakat yang plural, seseorang tidak lagi mempertanyakan agama, suku dan bahasa. "Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu ada di masyarakat. Artinya, masyarakat kita masih belum pluralis dan belum bisa menerima pluralisme sebagai pemikirannya," Filosofi Bhinneka Tunggal Ika, lanjutnya, seharusnya jangan hanya menjadi slogan belaka. Tetapi, harus menjadi strategi untuk membentuk negara yang plural. "Di satu sisi kita diajarkan dengan semangat Sumpah Pemuda yang sarat dengan nilai-nilai pluralisme. Pada sisi lain, kita juga dicekoki dengan nilai-nilai Sumpah Palapa yang ekspansif itu," jelasnya.Sebenarnya, tambah alumnus FH Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, untuk menuju masyarakat yang pluralis, bisa dilakukan dengan cara sederhana meski tak mudah dilakukan. Misalnya, seperti dicontohkan Sultan, yang mayoritas tidak memaksakan diri menentukan suatu kebijakan menurut kacamata yang mayoritas. Sebaliknya, mayoritas harus bisa mengayomi yang minoritas. "Itulah pluralitas. Semisal, jangan karena merasa orang Jawa itu mayoritas, maka kebijakan disusun dalam perspektif orang Jawa saja dan mengabaikan kepentingan masyarakat lain yang minoritas, seperti orang Papua,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar